Remaja berumur 17-an tahun itu bersandar persis di samping loket Dermaga Sungai Nyamuk, Pulau Sebatik, Kalimantan Timur. Di loket itu tertempel kertas bertuliskan ”Jangan Gunakan Sebutan Indon... Gunakan Sebutan Indonesia!! Bukan Indon...”.
Dari pulau terluar di utara Kaltim ini hanya dibutuhkan sekitar 15 menit menuju Tawau, Malaysia, dengan menggunakan kapal cepat. Bandingkan dengan waktu tempuh ke pusat Kabupaten Nunukan yang mencapai 1,5 jam.
Ketimpangan pembangunan di Sebatik dengan Tawau membuat warga menggantungkan hidupnya pada negeri jiran itu. Deretan rumah kayu menjadi etalase pulau seluas 246,61 kilometer persegi tersebut. Ini kontras dengan Tawau yang dipenuhi gedung bertingkat dan fasilitas layaknya kota besar.
Di beberapa sungai di Sebatik, hampir setiap hari terlihat aktivitas bongkar muat kebutuhan pokok yang dibeli warga dari Tawau, seperti gula, telur, elpiji, minyak goreng, hingga barang elektronik. Kebutuhan pokok ini dibeli dari hasil penjualan hasil bumi warga kepada masyarakat Tawau.
Tak heran jika warga Sebatik lebih memilih punya ringgit Malaysia dibandingkan rupiah. Warga menukar ringgit dengan rupiah hanya untuk keperluan tertentu, seperti membayar biaya sekolah anak dan membayar rekening listrik.
Warga Sebatik ibarat memiliki dua sisi, cinta Indonesia, tetapi bergantung pada Malaysia. Jika pemerintah tetap mengabaikan pembangunan di kawasan perbatasan, seperti Sebatik, ketergantungan kepada negara tetangga bakal sulit dihilangkan.