Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

NII Jangan Dibiarkan

Kompas.com - 13/05/2011, 05:25 WIB

Jakarta, Kompas - Pemerintah jangan terus membiarkan isu Negara Islam Indonesia mengambang tanpa kejelasan. Kondisi ini akan kian meresahkan, mengancam kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia, sekaligus mengusik rasa aman masyarakat.

Direktur Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat Ali Munhanif menyampaikan hal itu di Jakarta, Kamis (12/5). Sudah diketahui luas, NII muncul sejak didirikan Sekarmaji Marijan Kartosuwiryo tahun 1949. Gerakan kelompok ini mengalami pasang surut selama puluhan tahun sampai sekarang, dan pemerintah mengetahuinya.

Beberapa mantan anggota atau pejabat NII sudah memberikan kesaksian dan informasi penting. Begitu pula sejumlah pengamat dengan analisisnya. Namun, pemerintah membiarkan semuanya berlarut-larut, tanpa tindakan tegas. Kisruh NII menjadi mengambang, penuh teka-teki, termasuk keberadaan Pondok Pesantren Al-Zaytun.

Kondisi ini berbahaya karena bisa memunculkan ancaman dari dalam terhadap kedaulatan NKRI. Isu ini juga kembali membuka konflik lama antara kelompok nasionalis dan Islam yang sebenarnya dianggap sudah selesai. ”Semakin dibiarkan mengambang, isu ini kian memberikan peluang dimanfaatkan bagi kepentingan politik tertentu,” katanya.

Ali Munhanif berharap pemerintah bersikap tegas terhadap NII. Cari bukti-bukti yang mengarah adanya tindakan makar, lalu ambil tindakan hukum. Selain itu, perlu dihadang sumber-sumber normatif yang menyuburkan radikalisme dan gagasan negara Islam.

Secara terpisah, Majelis Ulama Indonesia merilis sikap resmi terkait dengan NII. Ditandatangani Ketua MUI KH Ma’ruf Amin dan Sekretaris Jenderal MUI HM Ichwan Sam, majelis ini menegaskan, segala bentuk pemaksaan kehendak untuk mengubah kesepakatan NKRI yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 merupakan perbuatan makar. Tindakan ini harus segera dicegah, ditindak, serta diberantas.

Setiap upaya pengkhianatan terhadap kesepakatan bangsa Indonesia dan pemisahan diri (separatisme) dari NKRI yang sah dalam pandangan Islam termasuk bughot. Adapun bughot haram hukumnya dan wajib diperangi oleh negara.

NII tidak islami

Kemarin Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) menilai gerakan NII tidak sesuai dengan Islam. ”Mereka membenarkan tindakan mencuri dan sebagainya. Kelompok ini ingin menodai Islam karena Islam tidak membenarkan tindakan seperti itu. Jadi, jangan karena ingin mendirikan negara Islam, tetapi menggunakan cara yang menghalalkan segala cara,” tutur Ketua DDII Syuhada Bahri, Kamis (12/5) di Kompleks Istana Presiden. Ia menyampaikan itu seusai jumpa pers di Kantor Presiden. Ditemani sejumlah pengurus DDII yang lain, Syuhada menemui Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. DDII menyampaikan kerja kepengurusan DDII periode 2010-2015 yang berkonsentrasi pada pembinaan umat dengan menyebarkan dai di daerah-daerah, terutama daerah perbatasan.

Menurut Syuhada, saat ini orang tidak perlu mengada-ada dengan melakukan gerakan mendirikan negara yang tidak seusai dengan NKRI dan dasar negara Pancasila. ”Ya, sudahlah, Indonesia saja. Di dalam Pancasila, ada Ketuhanan Yang Maha Esa, orang bisa menjabarkannya sesuai dengan sisi pandangnya masing-masing,” tuturnya.

Kemarin Ketua Law Enforcement Watch Gustaf Dufe di Jakarta mengatakan, isu NII yang ditiupkan oleh pemerintah diduga untuk mengalihkan isu persoalan bangsa, seperti penyelesaian kasus Bank Century, mafia pajak, dan persoalan-persoalan lain yang lebih besar.

Rektor Universitas Jember, Jawa Timur, Sutikto kemarin mengatakan bahwa pihaknya akan memberi pemahaman kepada para mahasiswanya agar tidak terjebak NII.

(IAM/LOK/SIR/ATO)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com