BANDUNG, KOMPAS -
”Serapan beras OP sangat sedikit, hingga kini belum mencapai 50 kuintal. Namun, kami tidak melihat hanya dari besarnya beras yang berhasil dijual, melainkan efektivitas keberadaan OP untuk menahan harga di pasaran,” ujar Sobar Husein, Kepala Humas Perum Bulog Divre Jabar, Senin (27/12) di Bandung.
Kebijakan OP beras kualitas medium seharga Rp 6.200 per kilogram itu, diakui Sobar, kurang diminati masyarakat. Penyebabnya, masih ada komoditas sejenis di pasaran yang dijual dengan selisih harga tak terlalu jauh dari yang dijual Bulog, yaitu Rp 6.400-Rp 6.500 per kg. Kelebihannya, beras yang dijual di pasaran lebih segar ketimbang beras Bulog.
Hal ini, menurut dia, wajar mengingat beras Bulog merupakan stok yang sudah disimpan beberapa bulan. Sementara beras yang beredar di masyarakat rata-rata bertahan seminggu hingga dua minggu sebelum dikonsumsi.
Berdasarkan pantauan Bulog, kenaikan harga beras jenis medium yang bulan lalu hampir tidak terkendali bisa tertahan sejak tiga pekan lalu. ”Harga beras IR 64 kualitas dua, misalnya, sempat melonjak dari awalnya Rp 5.500 per kg hingga menyentuh Rp 6.500 per kg. Namun, kini harganya belum bergerak dari Rp 6.400 per kg. Salah satu penyebabnya, ada stok beras yang dijual Bulog dengan harga Rp 6.300 per kg,” Sobar menjelaskan.
Dia optimistis harga beras medium yang paling banyak dikonsumsi masyarakat itu tidak melonjak signifikan setidaknya hingga awal tahun depan.
Secara terpisah, Ketua Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia Jabar Dadang Suganda menyatakan, OP beras yang digelar Bulog tidak akan efektif selama kualitas beras yang dijual masih di bawah standar. Menyangkut hal ini, dia berharap manajemen dan teknologi pergudangan Bulog diperbaiki.
”OP itu fungsinya tidak hanya untuk menahan harga, tetapi juga menambah suplai di pasaran. Kalau berasnya saja tidak laku, mana bisa stok di pasaran bertambah? Artinya, harga akan terus tinggi,” ucap Dadang.
Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Jabar Ferry
Ferry menilai, kebijakan OP beras akhir tahun ini terlambat. Hal itu disebabkan mekanisme birokrasi OP yang selama ini harus menunggu instruksi pemerintah pusat terlebih dulu. ”Ke depan, kebijakan langsung dipegang pemerintah kabupaten/kota bersangkutan karena paling memahami kondisi di daerahnya,” kata Ferry.