Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Masih Ada Energi Tersisa di Siberut

Kompas.com - 11/11/2010, 10:55 WIB

PADANG, KOMPAS.com — Patahan di sekitar wilayah Pulau Siberut, Kabupaten Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, mesti diawasi khusus setelah gempa bumi yang terjadi di barat daya Pulau Pagai Selatan pada Senin (25/10).

Pasalnya, energi gempa dalam siklus setiap 200 tahun pada patahan di blok sekitar Pulau Pagai Selatan dinilai relatif sudah habis, sementara energi pada blok sekitar Pulau Siberut masih belum juga terlepas.

Ketua Himpunan Ahli Geofisika Indonesia Komisariat Wilayah Sumatera Barat Dr Badrul Mustafa, Rabu (10/11), mengatakan, blok di sekitar Pulau Siberut itu akan memengaruhi juga Pulau Sipora dan Pagai Utara jika masa pelepasan energinya sudah tiba. ”Sekarang kita berpikir ke arah Siberut,” katanya.

Namun, ia menekankan, jika memang pelepasan energi itu sampai terjadi pada masanya, panjang wilayah yang terdeformasi tidaklah terlalu signifikan.

Dengan demikian, dampak yang akan ditimbulkan diperkirakan tidak akan sedahsyat apabila gempa bumi yang memicu tsunami terjadi di blok antara Pulau Pagai Selatan dan Pulau Enggano yang berada di Provinsi Bengkulu.

Sementara itu, peneliti dari Pusat Penelitian Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Eko Yulianto, yang baru saja usai melakukan penelitian di sebagian wilayah Pulau Pagai Utara dan Pulau Pagai Selatan, mengatakan, jeda antara gelontoran tsunami dan guncangan gempa pertama kali hanya sekitar tujuh menit. Ia menyarankan agar setiap ada guncangan gempa, baik yang terasa keras maupun biasa saja, warga segera saja lari menjauhi pantai.

”Jika menunggu laporan dari BMKG (Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika), sudah lebih dari lima menit,” kata Eko.

Ia menambahkan, kecepatan gelombang tsunami di lautan yang mencapai 800 kilometer per jam disimpulkan melambat menjadi 30 kilometer per jam hingga 40 kilometer per jam ketika sampai di permukiman penduduk. Adapun ketinggian gelombang ketika pertama kali mengempas ke daratan diperkirakan sekitar 8 meter.

Berdasarkan temuan Eko, pada sejumlah dusun juga tak ditemukan penghalang alami, seperti tanaman bakau ataupun pandan dan waru yang bermanfaat sebagai penahan alami gelombang.

”Untuk menahan gelombang tsunami perlu tanaman yang kanopinya rapat, seperti bakau yang bukan tegakan tunggal, pandan, dan waru. Bukan tanaman tegakan tunggal seperti kelapa dan cemara yang malah berbahaya kalau sampai tercerabut dan dibawa gelombang,” kata Eko.

Halaman:
Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Terkini Lainnya

    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com