Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mentawai dan Marzuki Alie

Kompas.com - 01/11/2010, 04:52 WIB

Oleh Indra J Piliang

Mentawai adalah kabupaten kepulauan paling barat Republik Indonesia. Kabupaten ini langsung berhadapan dengan laut luas: Samudra Hindia.

Selama Indonesia berdiri, Mentawai hanya bagian dari masyarakat yang dianggap memiliki peradaban rendah.

Belakangan Mentawai dikenal sebagai tujuan wisatawan mancanegara, terutama Australia.

Lalu, muncullah gempa bumi sejak beberapa tahun terakhir. Mentawai hadir dalam pembicaraan publik nasional. Namun, tidak komprehensif. Cenderung parsial. Bahkan setelah banyak tim nasional dan internasional datang, Mentawai tetap diingat sebagai daerah rawan gempa. Tidak yang lain.

Yang paling memprihatinkan muncul belakangan. Entah dosa apa masyarakat Mentawai sehingga Ketua DPR bernama Marzuki Alie menyalahkan korban tsunami. ”Mentawai itu kan pulau. Jauh itu. Pulau kesapu dengan tsunami, ombak besar, konsekuensi kita tinggal di pulaulah,” kata Marzuki (Kompas.com, 27/10). ”Kalau tinggal di pulau itu sudah tahu berisiko, pindah sajalah. Namanya kita negara di jalur gempa dan tsunami luar biasa. Kalau tinggal di pulau seperti itu, peringatan satu hari juga tidak bisa apa-apa.”

Tidak setiap hari

Marzuki Alie sepertinya tak paham dengan apa yang dikatakannya. Mentawai bukan seperti Pulau Onrust di Kepulauan Seribu yang mungkin akan tenggelam akibat abrasi air laut. Mentawai berbukit-bukit tinggi. Di daerah yang terkena bencana tsunami, sebagian penduduk masih sempat naik ke bukit atau tersadar setelah sapuan pertama dan lari ke bukit.

Tsunami tidak terjadi saban hari sekalipun gempa bumi bisa muncul setiap pekan belakangan ini. Jadi, terlalu berlebihan solusi atas masalah Mentawai: meminta pindah penduduknya ke daratan atau Pulau Sumatera. Sampai detik ini pun tak ada kebijakan itu. Kalaupun ada sosialisasi antisipasi gempa bumi, pemerintah daerah lebih banyak bicara menyangkut evakuasi, bukan pindah sejak dini.

Penduduk Mentawai semakin hidup ke tepi, apalagi yang menghadap langsung ke lautan lepas Samudra Hindia, ketika terdesak kehadiran masyarakat pendatang. Kayu-kayu balak mulai dieksplorasi pada awal tahun 1970-an. Kedua orangtua penulis termasuk gelombang pertama kedatangan para perantau asal Minangkabau. Bukan hanya kayu, kebun-kebun cengkeh menjadi penyangga perekonomian. Penulis masih ingat bagaimana para pemetik cengkeh mencuci tangan dengan air limun atau soda.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com