Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Usul Politik Afirmasi kepada Perempuan Berlaku dalam Pilkada

Kompas.com - 02/07/2024, 11:30 WIB
Irawan Sapto Adhi,
Robertus Belarminus

Tim Redaksi

SOLO, KOMPAS.com - Rina Iriani Sri Ratnaningsih tersenyum, tetapi tak bertahan lama. Setelah itu, dahinya berkerut dan tatapan matanya kian tajam.

Di satu sisi, ia mengaku senang angka pencalonan maupun keterpilihan perempuan dalam Pilkada di Solo Raya terus bertambah. Namun, Rina paham angkanya masih lebih rendah daripada laki-laki.

Dalam Pilkada terakhir di tujuh daerah di eks-Karesidenan Surakarta saja, empat di antaranya masih dimenangkan oleh calon bupati/wali kota laki-laki.

Bupati perempuan pertama di Solo Raya itu menyebut perbandingan jumlah kepala daerah perempuan dan laki-laki di lingkup nasional malah lebih membuatnya sedih lagi.

Ia pun mengungkapkan keheranan perempuan masih saja dianggap sebagai warga kelas dua di kancah perpolitikan. 

Baca juga: Pilkada dan Keyakinan Perempuan Memimpin Daerah

“Kini padahal sudah ada beberapa bupati, wali kota, dan gubernur perempuan yang terbukti sukses memimpin. Tapi lihat, apakah jumlah perempuan yang maju dan menang Pilkada lalu naik siginifikan? Angkanya masih sangat timpang jika dibandingkan dengan laki-laki. Ini membuktikan masih adanya marginalisasi,” ungkap Rina, saat diwawancarai di Karanganyar pada Senin (6/5/2024).

Berdasarkan data yang dihimpun dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI, persentase pencalonan maupun keterpilihan perempuan pada Pilkada 2017, 2018, dan 2020 memang meningkat secara nasional.

Meski begitu, angkanya tak sampai seperempat dari pencalonan dan keterpilihan laki-laki sebagai kepala daerah.

Pada Pilkada 2007, terdapat 7,26 persen perempuan calon kepala daerah, lalu pada 2018 naik menjadi 9 persen, dan pada Pilkada 2020 mencapai 10,73 persen.

Sementara untuk angka keterpilihan, pada Pilkada 2017, tercatat ada sebanyak 7,45 persen perempuan calon kepala daerah yang memperoleh suara terbanyak. Kemudian, pada 2018 naik menjadi 8,77 persen dan pada Pilkada 2020 mencapai 11,02 persen. 

Capaian di Pilkada 2020 juga terbilang lebih tinggi dibandingkan dengan periode sebelumnya di Pilkada 2015, yang tingkat keterpilihan calon perempuannya hanya menyentuh angka 8,16 persen.

Menurut Rina, terdapat banyak faktor yang jadi penyebab jumlah perempuan kepala daerah di Indonesia masih jauh lebih sedikit ketimbang laki-laki.

Beberapa di antaranya, yakni masih adanya anggapan perempuan tak pantas menjadi pemimpin, parpol belum ramah gender, dan perempuan seringkali memiliki akses lebih terbatas ke jaringan politik, finansial, maupun sumber daya lain yang penting untuk maju dalam kontestasi. 

 

Angka pencalonan dan keterpilihan perempuan pada Pilkada serentak mengalami kenaikan dari tahun ke tahun. Meski begitu, angkanya dianggap masih timpang dibandingkan dengan laki-laki. Agar muncul lebih banyak kepala daerah perempuan, pakar dari UNS Solo berpendapat, kebijakan politik afirmasi kepada perempuan perlu juga diterapkan dalam Pilkada.KOMPAS.com/IRAWAN SAPTO ADHI Angka pencalonan dan keterpilihan perempuan pada Pilkada serentak mengalami kenaikan dari tahun ke tahun. Meski begitu, angkanya dianggap masih timpang dibandingkan dengan laki-laki. Agar muncul lebih banyak kepala daerah perempuan, pakar dari UNS Solo berpendapat, kebijakan politik afirmasi kepada perempuan perlu juga diterapkan dalam Pilkada.

Ia pun bersyukur pada 2003 lalu berhasil menghadapi berbagai tantangan tersebut.

Rina merasa beruntung kala itu mempunyai secercah modal yang membuatnya yakin maju dan menang dalam Pilkada Karanganyar. 

"Saya itu awalnya guru SD, punya relasi teman-teman sejawat. Saya juga ada sampingan kerjaan, saya dapat rezeki lalu saya banyak membantu anak-anak sekolah yang tidak bisa bayar kebutuhan sekolah sampai ke pelosok desa. Saya tentu ketika melakukan itu tidak punya tujuan jadi bupati. Tapi, kemudian ada dorongan dari luar dan saya juga ingin berdampak lebih luas, akhirnya yakin maju,” ungkap perempuan peraih gelar Doktoral Bidang Linguistik di Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo itu.

Sebelum menjabat bupati, selain menjadi guru, Rina diketahui telah menekuni beragam usaha, seperti salon, penyelenggara kursus musik, kursus kecantikan, kursus senam, kursus tari, dan bisnis properti.

Ia pun memberikan pesan kepada para perempuan lain agar tidak takut maju dan berjuang dalam politik, termasuk bagi mereka yang tidak memiliki kekerabatan dengan pejabat lain atau petahana seperti dirinya.

Baca juga: Pilkada Solo, PKS Ajukan Nama Abdul Kadir Audah

Lagi pula, Rina berpendapat, mempunyai latar belakang kekerabatan tidak menjamin seorang perempuan akan menang Pilkada. Sebab, masih terdapat banyak tantangan lain yang mesti dihadapi perempuan. 

Memiliki latar belakang kekerabatan sendiri dapat menjadi bumerang bagi perempuan karena bisa jadi dianggap tak memiliki otoritas dalam membuat kebijakan dan atau dinilai melakukan praktik nepotisme.

Rina pun sangat menentang anggapan soal perempuan tidak memiliki kemampuan atau tidak berkompeten di bidang politik dan cukup berperan saja di wilayah domestik.

Ia berpendapat, pemikiran itu bagian dari nilai-nilai lama yang sudah tidak relevan lagi diadopsi di era sekarang ini.

Rina menegaskan perempuan juga mampu mengambil peran sebagaimana laki-laki di bidang pemerintahan. 

Bahkan, ketika diberi mandat menjadi pemimpin daerah, kata dia, komitmen perempuan cenderung lebih kuat daripada laki-laki untuk bekerja sesuai peraturan.

Ia juga percaya perempuan memiliki kepekaan dan ketelitian yang lebih baik dalam mengambil keputusan.

”Kalau tidak sesuai aturan, perempuan itu tidak mau. Sayangnya, perempuan seakan-akan dilemahkan, enggak bisa apa-apa. Jadi, tak usahlah takut terjun ke politik. Walaupun ibarat kata, mereka yang berkuasa berusaha memasukkan kita ke penjara, jangan takut asal kita memang benar. Di politik itu, golek jeneng, ojo golek jenang (carilah nama, jangan mengejar harta),” ucap perempuan 62 tahun itu.

 

Mantan Bupati Karanganyar Rina Iriani Sri Ratnaningsih saat diwawancarai pada Senin (6/5/2024). Bupati perempuan pertama di Solo Raya itu menyesalkan perbandingan jumlah kepala daerah perempuan masih jauh timpang dibandingkan dengan laki-laki. Ia mengungkapkan keheranan perempuan masih saja dianggap sebagai warga kelas dua di kancah perpolitikan. Dokumen Rina Iriani Mantan Bupati Karanganyar Rina Iriani Sri Ratnaningsih saat diwawancarai pada Senin (6/5/2024). Bupati perempuan pertama di Solo Raya itu menyesalkan perbandingan jumlah kepala daerah perempuan masih jauh timpang dibandingkan dengan laki-laki. Ia mengungkapkan keheranan perempuan masih saja dianggap sebagai warga kelas dua di kancah perpolitikan.
Melihat kembali perjalanannya, Rina pun bersyukur bersama Pemkab Karanganyar, ia telah berhasil mendapatkan ragam penghargaan di berbagai bidang, bukan hanya terkait perempuan dan anak-anak.

Ini termasuk, Ksatria Bhakti Husada Arutala–Penanggulangan Masalah Kesehatan Masyarakat Miskin dari Kemenkes RI tahun 2005, Pemberantasan Buta Aksara dan Penggerak Pendidikan Luar Sekolah dari Mendiknas tahun 2005, Penghargaan Bidang Pengentasan Kemiskinan Pelayanan Kesehatan (Leadership MDG’s Award 2009) dari Leadership Park Institute dan Menkokesra RI.

Selain itu, Rina dan Pemkab Karanganyar juga pernah memperoleh Piala Citra Bhakti Abdi Negara (Bupati Kinerja Terbaik Dalam Pelayanan Publik 2009) dari Presiden RI tahun 2010, Anugerah Perempuan Indonesia 2012 Kategori Pemimpin Kabupaten Tertangguh dari Kemen PPPA RI, peringkat ke-4 dari 10 Kabupaten Terbaik Pelaksana Pemerintah Daerah dari Kemendagri RI tahun  2012, hingga Anugerah Adipura sebagai Kota Kecil Terbersih 9 tahun berturut-turut.

Ia masih ingat ada lebih dari 100 piagam penghargaan atau kehormatan yang pernah diperoleh Pemkab Karanganyar selama periode kepemimpinannya. 

Di dalamnya, terdapat pula penghargaan dari Museum Rekor-Dunia Indonesia (MURI), seperti festival Musik Lesung (Kothekan Lesung) dengan peserta terbanyak tahun 2006, pemrakarsa dan penyelenggara pembaca serentak dengan peserta terbanyak tahun 2007, pemrakarsa pelayanan sertifikasi pertahanan dengan mobil keliling tahun 2008, dan rekor pemrakarsa pembuatan KTP, KK, dan akta lelahiran dengan menggunakan mobil keliling ”RATNA” (Rakyat Terdata Negara Aman) yang dilakukan secara cepat tahun 2009.

Pada gilirannya, Rina mendorong agar kaum perempuan ikut meramaikan Pilkada yang akan digelar 27 November nanti. 

Di Karanganyar sendiri, Rina menyaksikan belum banyak tokoh perempuan yang namanya muncul di masyarakat akan ikut dalam Pilkada tahun ini. Kandidat yang muncul masih didominasi para laki-laki.

“Harus ada tokoh perempuan karena bisa lebih dekat dan memiliki sensitivitas terhadap berbagai persoalan yang ada di masyarakat,” ucap penghobi membaca, menulis, menari, menyanyi, dan olah raga itu.

Baca juga: Soal Pilkada Solo, Muhammadiyah Netral tapi Punya Kriteria Pemimpin

Menurut Rina, ada beberapa tokoh perempuan di Bumi Intanpari yang layak maju sebagai bakal calon bupati maupun wakil bupati di Pilkada.

“Perempuan harus ikut andil dalam menentukan kebijakan, untuk pembangunan daerah yang lebih baik,” katanya.

Ketika menjabat sebagai Bupati, Rina mengeklaim Pemkab Karanganyar telah memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi perempuan untuk membuktikan kepemimpinan dalam tata kelola pemerintahan. 

“Di era saya ada banyak kepala dinas, camat, lurah, maupun kepala kantor yang perempuan. Staf ahli saya juga ada yang perempuan. Mereka lolos seleksi yang kami lakukan tidak sembarangan dan terbukti hasil kinerja dari OPD-nya bagus-bagus,” ucapnya.

 

Usul kebijakan politik afirmasi

Pakar Hukum Tata Negara (HTN) UNS Solo, Prof. Sunny Ummul Firdaus, melihat peluang perempuan untuk maju dan menang di Pilkada ada, tetapi memang tantangannya lebih besar dibandingkan laki-laki. 

Pakar Hukum Tata Negara (HTN) UNS Solo, Prof. Sunny Ummul Firdaus, melihat peluang perempuan untuk maju dan menang di Pilkada ada, tetapi memang tantangannya lebih besar dibandingkan laki-laki. Saat diwawancarai pada Kamis (6/6/2024), ia menyebut, besarnya bahkan tiga atau empat kali lipat, bukan hanya dua kali lipat. Sebab, perempuan masih menghadapi praktik relasi kuasa yang timpang baik di dalam kehidupan rumah maupun ketika berinteraksi di ruang publik.KOMPAS.com/IRAWAN SAPTO ADHI Pakar Hukum Tata Negara (HTN) UNS Solo, Prof. Sunny Ummul Firdaus, melihat peluang perempuan untuk maju dan menang di Pilkada ada, tetapi memang tantangannya lebih besar dibandingkan laki-laki. Saat diwawancarai pada Kamis (6/6/2024), ia menyebut, besarnya bahkan tiga atau empat kali lipat, bukan hanya dua kali lipat. Sebab, perempuan masih menghadapi praktik relasi kuasa yang timpang baik di dalam kehidupan rumah maupun ketika berinteraksi di ruang publik.

Menurutnya, besarnya bahkan tiga atau empat kali lipat, bukan hanya dua kali lipat. Sebab, perempuan masih menghadapi praktik relasi kuasa yang timpang baik di dalam kehidupan rumah maupun ketika berinteraksi di ruang publik.

Sunny menilai, stereotip gender dan diskriminasi terhadap perempuan di dalam rumah tangga masih sangat nyata terjadi hingga kini.

Ia berpendapat hal itu justru menjadi tantangan utama atau pertama yang mesti dihadapi perempuan ketika ingin aktif di ruang publik, termasuk berpolitik.

“Dalam sebuah tataran kehidupan rumah tangga, perempuan sementara ini kan masih di tahap disetujui atau tidak disetujui. Jika sudah menikah, ya oleh suami. Kalau belum, ya oleh keluarga atau orangtua,” kata dia, Kamis (6/6/2024).

Sunny menyatakan, hubungan antara laki-laki sebenarnya bukan relasi kuasa, melainkan relasi setara.

Ia pun berharap isu kesetaraan gender yang selama ini telah semakin masif dikampanyekan benar-benar diimplemtasikan di berbagai bidang.

“Jadi, beruntunglah perempuan yang memiliki suami yang mengatakan, ‘kamu menikah dengan saya, tapi jangan fokus dengan saya. Kamu bisa fokus pada diri kamu sendiri. Anak-anak jadi tanggung jawab bersama. Saya berikan kamu kebebasan untuk meraih cita-cita. Silahkan kamu naikkan nilai kamu’. Tapi, kondisi eksisting di lapangan bagaimana? Jarang kan? Inilah yang membuat keterwakilan perempuan dalam politik dan selanjutnya Pilkada masih sangat timpang,” ujar dia.

Penyebab selanjutnya, kata Sunny, perempuan cenderung memiliki keterbatasan lebih besar terhadap akses ke jaringan politik dibandingkan laki-laki. Padahal, akses ini penting untuk membangun dukungan.

“Contoh gampangnya, laki-laki sementara lebih leluasa kalau mau ngopi-ngopi atau wedangan sampai larut malam untuk membicarakan soal dukungan, kandidat, kampanye, dan lain sebagainya, termasuk dengan elite parpol. Sedangkan perempuan, bisa saja melakukan itu, tapi saya bilang terbatas," ungkapnya.

Kepala Pusat Studi Demokrasi dan Ketahanan Nasional (Pusdemtanas) LPPM UNS itu kemudian menyinggung soal tantangan berupa kebijakan partai politik yang sudah bukan rahasia lagi cenderung mengutamakan popularitas dan elektabilitas dalam melakukan kandidasi. 

Mereka yang diusung biasanya adalah sosok yang sudah sudah mapan, seperti memiliki basis massa, berpengalaman, dan tangguh secara ekonomi.

Nah, sayangnya, hal itu bertolak belakang dengan kondisi perempuan yang seringkali menghadapi keterbatasan akses ke beragam hal, termasuk ekonomi karena berbagai faktor struktural, budaya, dan sosial. Alhasil, laki-laki lagi-lagi lebih berpeluang untuk dipilih dan diusung.

”Dalam struktur kepemimpinan, partai politik membuat perempuan menjadi lebih sedikit kesempatan untuk dipilih atau diusung sebagai kandidat. Bahkan, itu mungkin perempuan yang sekaliber punya kecerdasannya tinggi dan skill manajemen bagus, masih akan kalah dengan laki-laki yang memiliki kemampuan rata-rata tetapi punya latar belakang yang sudah mapan. Jadi, effort-nya cukup besar bagi perempuan untuk masuk pada sistem dan struktur politik ini,” kata dia.

Lagi pula, kata dia, biaya politik di Indonesia memang terbilang tinggi. Sunny pun meyakini, biaya politik yang perlu disiapkan calon kepala daerah jauh lebih besar ketimbang calon anggota DPRD.

"Mau dipungkirin atau tidak di Pileg saja kemarin sudah diteliti, untuk jadi anggota DPRD di kota/kabupaten, rata-rata biaya politiknya bisa sampai Rp 750 juta. Dan ternyata, di Solo, mereka yang keluar Rp 1 miliar–Rp 3 miliar pun ada yang enggak jadi (menang). Itu baru legislatif DPRD. Nah, di Pilkada, saya membayangkan, biaya politiknya lebih tinggi dan ini menjadi penghalang bagi perempuan yang tidak memiliki akses ke sumber daya ekonomi sebanyak laki-laki," katanya.

Sementara itu, Sunny menganggap, pandangan masyarakat mengenai perempuan tidak cocok di posisi kepemimpinan kini bukan lagi menjadi tantangan atau faktor penghambat utama bagi perempuan untuk maju Pilkada.

“Bagi saya, jika perempuan mendapat dukungan dari keluarga dan suami, serta memiliki akses ke sumber daya, maka mereka bisa membebaskan diri dari norma sosial yang menghambat,” ujar Guru Besar FH UNS itu.

Menanggapi fenomena banyaknya perempuan yang berhasil maju dan menang dalam Pilkada di Solo Raya, Sunny menuturkan, bahwa lingkungan keluarga yang sudah terjun ke politik memberikan pengaruh besar. Itu termasuk turut mendongkrak elektabilitas dan popularitas mereka.

Meski begitu, ia menganggap, keberhasilan dalam pencalonan dan keterpilihan perempuan dalam Pilkada pada umumnya tetap tidak akan terlepas dari peran serta atau pengaruh individu itu sendiri.

Baca juga: Rumah Pensiun Jokowi di Colomadu Karanganyar Mulai Dibangun

"Sisi positifnya, dukungan ini bisa menjadi peluang bagi perempuan untuk membuktikan bahwa mereka bisa juga menjadi pemimpin yang sukses, tidak dijadikan alat oleh orang lain, dan menunjukkan sikap kenegarawanan. Kalau calon kepala daerah itu dapat dukungan dari keluarga, kita cek aja rekam jejaknya dan keluarganya yang kemarin (menjabat) seperti apa? Itu kan gampang,” tutur dia.

Sunny menambahkan, kebijakan politik afirmasi kepada perempuan kiranya perlu juga diterapkan dalam Pilkada agar muncul lebih banyak kepala daerah perempuan. 

Afirmasi selama ini baru berlaku pada Pileg dalam hal pencalonan calon anggota legislatif perempuan sebanyak 30 persen di setiap parpol. 

"Sebenarnya kan sudah terbukti bahwa kepercayaan masyarakat terhadap perempuan calon kepala daerah cenderung meningkat setiap tahunnya. Dengan ini, harapannya, partai politik bisa memberikan afirmasi kepada perempuan calon kepala daerah," ujar dia.

Sunny optimistis ketersediaan semakin banyak perempuan yang menjadi kepala daerah dan wakil kepala daerah, akan semakin mempercepat terwujudnya kesejahteraan yang berkesetaraan sebagai manifestasi masyarakat adil dan makmur sesuai dengan amanat dalam Pembukaan UUD 1945.

 

Situasi tak jauh beda di daerah lain

Fenomena perempuan harus menghadapi tantangan lebih besar dibandingkan laki-laki ketika maju dalam Pilkada terjadi juga di daerah lain. Di Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa (DIY) misalnya. 

Endah Subekti Kuntaraningsih mengaku kehidupan pribadinya sebagai perempuan justru lebih banyak disorot publik daripada kompetensi, program, maupun kapasitasnya dalam memimpin ketika maju ke Pilkada Gunungkidul 2015. Ia pun mengalami kekalahan dalam pesta demokrasi tersebut.

Ketua DPC PDIP Gunungkidul Endah Subekti Kuntaringsih di Kapanewon Nglipar. Senin (4/12/2023)Dok Pribadi Ketua DPRD Gunungkidul Ketua DPC PDIP Gunungkidul Endah Subekti Kuntaringsih di Kapanewon Nglipar. Senin (4/12/2023)

"’Jangan pilih janda, jangan pilih perempuan. Perempuan itu konco wingking, kita tidak boleh dipimpin perempuan, imam itu harus laki-laki’. (Kata-kata) Itu keluar. Kedua, ’jangan pilih dia karena kafir, enggak berjilbab’,” ungkap Endah, menceritakan pengalamannya dicerca saat maju Pilkada, Jumat (10/5/2024). 

Perempuan yang kini menjabat sebagai Ketua DPC PDI-P Gunungkidul dan Ketua DPRD Gunungkidul periode 2019-2024 itu pun meyakini kata-kata miring bakal sampai ke telinganya lagi jelang Pilkada 2024 ini.

Ia diketahui telah memutuskan akan ikut berkontestasi dalam Pilkada tahun ini.

"Kalau pas tidak punya agenda politik, anehnya tidak ada isu kayak gitu. Tetapi sebentar lagi (saat Pilkada) dipastikan ada. Siapa sih yang mau jadi janda? Tetapi, apakah saya takut? Tidak. Perempuan harus kuat, harus mampu berdansa dengan kesulitan,” tegas dia.

Endah bercerita, dirinya juga sempat mendapatkan pertanyaan miring mengenai asal uang yang digunakannya untuk maju Pilkada 2015.

Sebagai perempuan, dia diragukan bisa memiliki dana cukup untuk terlibat dalam kontestasi Pilkada.

“Biasanya orang berpikir, bahwa orang pinter nyari duit itu cuma laki-laki. Sementera, perempuan adalah ibu rumah tangga. Jika bukan perempuan ’penunggang kuda’ (punya karier atau penghasilan), dianggap enggak bisa nyalon Pilkada. Saya sendiri single, janda, suami meninggal. Jadi tidak ada pertanggungjawaban kepada suami,” ujarnya.

Sosiolog Universitas Gadjah Mada (UGM), Arie Sujito, menyesalkan setelah era reformasi, ruang artikulasi emansipasi perempuan memang tumbuh, tapi urusan politik mengalami pelambatan. 

“Urusan Pilkada mengalami pelambatan karena proses regenerasi politik di partai berjalan lambat. Kelambatan ini sebetulnya ya karena sisa-sisa patriarki. Di samping itu, jebakan politik uang itu telah membuat politik perempuan tidak berdaya. Akibatnya adalah, lambat sekali," terangnya.

Arie optimistis, hal-hal tersebut bisa dihilangkan, tetapi memang membutuhkan proses yang tidak instan. Selain itu, cara yang bisa dilakukan untuk menghapus stigma adalah dengan prestasi. 

Baca juga: Blusukan ke Pasar Gede, Mangkunegara X Tegaskan Tak Terkait Pilkada Solo

“Perempuan mesti membuktikan ketika berkuasa, harus membuat terobosan. Dengan begitu, stigma negatif terhadap perempuan lama-lama akan hilang. Membangun paradigma masyarakat mengenai emansipasi politik perempuan itu peluangnya sangat terbuka. Nah, yang ingin saya tekankan, bersihkan Pilkada dari stigmatisas. Hal tersebut harus dibuktikan dengan perempuan bisa tampil. Selain itu, bersihkan kecenderungan praktik politik kotor yang hanya membeli posisi pakai duit,” ujar dia.

Pengamat politik UGM, Mada Sukmajati, mengatakan, jarak yang berdekatan antara Pilpres dan Pilkada telah membuat partai politik cenderung tak mempunyai cukup waktu untuk memilih kader terbaiknya sebagai bakal calon bupati maupun bakal calon bupati.

“Tidak ada waktu bagi partai politik untuk membuat eksperimen terhadap pencalonan atau bikin ide aneh-aneh lain. Itu sudah tidak ada,” kata dia.

Situasi itu pun dianggap dapat semakin mempersempit peluang perempuan untuk bisa berlaga di Pilkada. 

“Partai cenderung lebih memilih dan menampilkan calon yang dikenal warga. Misalnya artis, atau nama lainnya yang sudah dikenal khalayak,” terang Mada.

Tulisan ini merupakan bagian kedua hasil peliputan antara Kompas.com bersama Konde.co, Harian Fajar, IDN Times, dan Tirto.id dalam Proyek Peliputan ”Perempuan dan Pilkada”.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Warga Bandung Antusias Ikuti Pawai Obor Sambut Tahun Baru Islam

Warga Bandung Antusias Ikuti Pawai Obor Sambut Tahun Baru Islam

Regional
Pulau Setan di Kawasan Mandeh, Tempat Wisatawan Mencari Ketenangan

Pulau Setan di Kawasan Mandeh, Tempat Wisatawan Mencari Ketenangan

Regional
Melihat Tradisi Oncor-Oncoran di Malam Tahun Baru Islam di Banyuwangi

Melihat Tradisi Oncor-Oncoran di Malam Tahun Baru Islam di Banyuwangi

Regional
Bupati Banyuwangi Dorong Petani Pakai Pupuk Organik

Bupati Banyuwangi Dorong Petani Pakai Pupuk Organik

Regional
Disidik, Dugaan Pungutan Liar Dana BOS SD/SMP di Majene

Disidik, Dugaan Pungutan Liar Dana BOS SD/SMP di Majene

Regional
Pengidap HIV di Aceh Utara Terus Bertambah, Kini Ada 187 Orang

Pengidap HIV di Aceh Utara Terus Bertambah, Kini Ada 187 Orang

Regional
7 Hari Dicari Hanya Perahu yang Pulang, 1 Nelayan Babel Hilang

7 Hari Dicari Hanya Perahu yang Pulang, 1 Nelayan Babel Hilang

Regional
Kronologi Warga Tewas Tertembak Anggota DPRD Lampung Tengah, Berawal dari Tradisi Pernikahan

Kronologi Warga Tewas Tertembak Anggota DPRD Lampung Tengah, Berawal dari Tradisi Pernikahan

Regional
Sosok Lugu Itu Jadi Pelaku Pembunuhan Sadis Penagih Utang di Sumbar...

Sosok Lugu Itu Jadi Pelaku Pembunuhan Sadis Penagih Utang di Sumbar...

Regional
4 Pelaku Pengeroyokan Pelajar di Palopo Dibekuk, 3 Masih di Bawah Umur

4 Pelaku Pengeroyokan Pelajar di Palopo Dibekuk, 3 Masih di Bawah Umur

Regional
Buronan Perusak Cagar Alam Faruhumpenai di Luwu Timur, Ditangkap

Buronan Perusak Cagar Alam Faruhumpenai di Luwu Timur, Ditangkap

Regional
Polisi Sebut Istri Bos Distro “Anti Mahal” Tak Terlibat Pembunuhan

Polisi Sebut Istri Bos Distro “Anti Mahal” Tak Terlibat Pembunuhan

Regional
Warga Tewas Tertembak Anggota DPRD Saat Tradisi Lepas Tembakan di Pernikahan

Warga Tewas Tertembak Anggota DPRD Saat Tradisi Lepas Tembakan di Pernikahan

Regional
Sosok Suami Istri di Sumbar yang Bunuh Penagih Utang, Tinggal di Rumah Beratap Terpal Berdinding Papan

Sosok Suami Istri di Sumbar yang Bunuh Penagih Utang, Tinggal di Rumah Beratap Terpal Berdinding Papan

Regional
Mobil Dinas Gibran Ditinggal Lagi, Kini di Festival Kuliner Non-halal Solo

Mobil Dinas Gibran Ditinggal Lagi, Kini di Festival Kuliner Non-halal Solo

Regional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com