SEMARANG, KOMPAS.com-Memperingati pahitnya tragedi kerusuhan 1998, komunitas Tionghoa menggelar makan rujak pare sambal kecombrang di Gedung Rasa Dharma, Kompleks Pecinan, Kota Semarang, Jawa Tengah.
Pare sengaja dipilih untuk menggambarkan kepiluan dan kepahitan yang dialami ratusan korban kerusuhan 1998 pada 2,5 dekade lalu.
Sementara bunga kecombrang menandai perempuan Tionghoa yang banyak menjadi korban pemerkosaan kala itu.
"Sambal rujaknya pun pedes itu memang istilahnya kita makan pahit, pedes campur jadi satu. Kan akhirnya ikut nangis, itu melambangkan kepedihan, kekerasan, dan ketakutan yang dialami oleh orang-orang yang mengalami Tragedi Mei 98 itu," jelas Ketua Panitia, Jose Amadius Krisna, Minggu (21/5/2023).
Baca juga: [JEO] Kisah Muslim Tionghoa Menyusuri Jalan Islam di Pecinan
Di samping untuk mengingat sejarah kelam dan berkontemplasi bersama, mereka berharap kejadian serupa tidak terulang lagi di masa mendatang.
"Seperti yang disampaikan di siaran pers dari Komnas Perempuan sangat mendukung bahwa peringatan tersebut tidak hanya sebagai peringatan tapi juga sebagai kontekstualisasi untuk masa-masa depan," lanjutnya.
Kegiatan itu diawali dengan menyematkan pita hitam di lengan kiri, sebagai simbol duka Tragedi 98. Lalu dilanjutkan dengan bakar dupa dan bersembahyang di depan gedung.
Kemudian para anggota meletakkan bunga melati berdampingan dengan sesaji nasi goreng dan mie goreng, makanan favorit Ita Martadinata Haryanto.
Ita merupakan remaja 18 tahun yang dibunuh secara sadis sebelum sempat bersaksi di hadapan PBB pada Oktober 1998.
Baca juga: BERITA FOTO: Jejak Pembauran Tionghoa di Masjid Lautze
Untuk menghargai jasa dan keberanian Ita, papan arwah atau sinci Ita berwarna putih diletakkan berdampingan dengan Sinci Gus Dur di altar gedung tersebut. Warna putih sendiri melambangkan duka dalam kultur Tionghoa.
Hal ini sekaligus mewakili para korban, Perkumpulan Boen Hian Tong sengaja menginisiasi rujak pare sambal kecombrang sejak 2018.
Ketua Boen Hian Tong, Harjanto Halim mengatakan peringatan semacam ini tidak boleh berhenti pada langkah seremonial saja, tapi juga berlanjut dengan tindakan kontekstual yang bisa membantu orang-orang di sekitar.
Lebih lanjut, untuk mendorong keberanian untuk bersuara bagi prnyintas kekerasan, pihaknya menciptakan forumbernama Estungkara.
"Kita buka forum seperti tadi para korban atau yang mengalami kekerasan suruh bercerita aja dengan sesama korban, dan mungkin dari satu, dua dari kami juga bisa menjadi fasilitator yang mungkin dosen psikolog, atau dari filsafat untuk membantu memfasilitasi saja," tuturnya.
Baca juga: Mengenang Ita Martadinata, Aktivis HAM 1998 yang Dibunuh Sebelum Bersaksi di PBB
Pihaknya mengaku tidak bisa mencarikan jalan keluar, proses itu kembali kepada masing-masing korban.
Meski begitu, ia meyakini forum untuk bersuara dan saling mendengar itu sangat dibutuhkan sekali.
Sejumlah penyintas menghadiri forum tersebut untuk berbagi pengalaman kelam dengan para anggota dan peserta yang hadir.
Perwakilan Gerakan Pria Peduli Perempuan dan Anak (Garpu Perak) Jateng dan LRC KJHAM juga turut mengapresiasi kegiatan itu dan siap untuk mengulurkan tangan bagi korban.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.