GORONTALO, KOMPAS.com – Usai sembahyang Dhuhur di Masjid Al-Maghfirah Desa Reksonegoro Kabupaten Gorontalo, Hasyim Wonopatih (74) mengenang leluhurnya seorang tokoh jawa yang mampu menangkap petir.
Leluhurnya adalah Ki Ageng Selo atau Kiyai Abdurrahman yang hidup di era Kerajaan Demak. Di usianya yang telah menua, Hasyim Wonopatih tidak menyiratkan lemah ingatan, bicaranya jelas dan mampu menuturkan kisah-kisah masa lalu para mbah-nya, yang dibuang Pemerintah Hindia Belanda di tanah Sulawesi.
Ia merasa bangga menjadi anak cucu Ki Ageng Selo melalui garis keturunan Kiyai Wonopatih seorang pengikut Kiai Modjo, salah satu dari 63 orang yang diasingkan Belanda ke Tondano, Minahasa setelah Perang Jawa (Perang Diponegoro) pada 1830 silam.
Baca juga: Tungku Kayu Tak Dimatikan Usai Rebus Ketupat, Dapur Warga di Blitar Hangus Terbakar
Sebagai tawanan perang yang diasingkan, para kombatan Perang Jawa ini kemudian membentuk keluarga baru saat menikahi para gadis Minahasa, terutam dari Tonsea Lama dan Tondano, Minahasa. Mereka beranak pinak hingga menurunkan masyarakat Jawa Tondano (Jaton) saat ini.
Dari orang-orang Jawa inilah, budaya bakdo kupat atau lebaran ketupat menyebar di Sulawesi. Para leluhur Jaton mewariskan tradisi ini setelah mereka menuntaskan puasa Syawal 6 hari yang dimulai dari tanggal 2 (hari raya idulfitri kedua) hingga tanggal 7 Syawal.
“Lebaran ketupat itu digelar setelah kami melaksanakan puasa Syawal,” ujar Hasyim Wonopatih, Sabtu (29/4/2023) di lantai 2 rumah panggungnya yang lapang.
Hasyim Wonopatih menuturkan para leluhur Jaton ini sesungguhnya bukan orang biasa. Mereka adalah para pembesar dalam hirarki pasukan perang jawa. Pendapat Hasyim ini sesuai dengan laporan Huibert Gerard Baron Nahuys van Burgst, yang saat itu menjabat Residen Yogyakarta merangkap Surakarta.
Dalam catatan Nahuys van Burgst menyebutkan, lebih dari 60 laki-laki ini adalah hoofden atau kepala yang dipisahkan dari 400 orang tahanan lebih rendah di Surakarta. Dari 60-an orang tersebut, lebih dari setengah lusin menyandang gelar tumenggung, satu orang bergelar adipati, serta sejumlah basyah dan dullah, gelar kemiliteran yang diadopsi dari Kesultanan Ottoman di Turki. Sebagian besar diidentifikasi sebagai golongan putih atau yang berperilaku sangat islami.
Nahuys van Burgst juga mencatat ada 4 orang haji, lebih dari 35 orang ini bergelar Kiai, bahkan nama-nama kombatan perang Diponegoro yang dibuang di Minahasa ini memiliki nama Arab atau kombinasi Arab-Jawa. Semua ksatria Jawa ini dibawa paksa ke Manado tanpa didampingi istri setelah dikhianati Belanda.
Baca juga: Resep Opor Ayam dengan Tahu Khas Bogor, Sajikan dengan Ketupat
Kisah heroik Perang Jawa ini memang membuat warga Jaton bangga dengan leluhurnya, namun mereka juga bangga dengan proses akulturasi budaya Jawa dan Minahasa yang melahirkan tatanan sosial baru, budaya Jawa Tondano (Jaton) tanpa meninggalkan budaya asli.
“Kami masih merayakan bakdo kupat atau lebaran ketupat, kebiasaan yang diturunkan para mbah dari Jawa bersama istrinya wanita Minahasa,” ungkap Hasyim Wonopatih.
Masyarakat Jawa Tondano memaknai lebaran ketupat ini sebagai sarana untuk berkumpul dengan saudara, sanak famili yang telah lama tidak bertemu.
Seperti rangkaian anyaman ketupat, seperti itulah ikatan kekeluargaan masyarakat Jawa Tondano.
“Anyaman janur kelapa tang membentuk ketupat ini saling menguatkan dan kokoh, ini bermakna kami harus selalu menjaga silaturahmi, persaudaraan dan persatuan,” kata Muhammad Wonopatih sesepuh masyarakat Reksonegoro yang masih memiliki hubungan cucu basudara dengan Hasyim Wonopatih.
Lebaran ketupat merupakan waktu yang tepat untuk berkumpul, bersuka cita sambil menikmati jamuan aneka makanan.
Baca juga: Lebaran Ketupat 2023 Tanggal Berapa? Ini Sejarah dan Maknanya
Sikap saling memperhatikan sebagai sesama keluarga tercermin dari nasihat orang tua, sikap ini tercermin dari nasihat leluhur masyarakat Jaton dari kebudayaan Minahasa, maesa-esaan atau saling bersatu, maleos-leosan atau saling mengasihi dan menyayangi, mangenang-genangan atau saling mengingat, malinga-lingaan atau saling mendengar, masawang-sawangan atau saling menolong, matombo-tombolan atau saling menopang.
Nilai tradisi ini menjadi inti pada tradisi pertemuan para anak-bangsa Jaton dalam hari raya ketupat, tradisi perjumpaan sanak saudara seperti rangkaian anyaman ketupat yang saling menguatkan membentuk ruang yang lebih bermanfaat bagi sesama.
Tradisi inilah yang dikatakan Muhammad Kiyai Wonopatih sebagai sarana pemersatu sanak saudara yang datang dari jauh dan warga lainnya untuk datang bergembira. Sajian aneka menu ketupat menjadi alasan utama keluarag untuk saling melepas rindu.