Roni mengaku mendapat upah 100 rupiah untuk satu kilogram batu bara yang dia bawa. Batu bara tersebut harus terkumpul hingga dua ton dalam satu hari agar bisa diangkut oleh truk ke titik pengumpulan lain.
Jika tidak mencapai target, batu bara tidak diangkut dan hal tersebut berpengaruh ke upah yang dia dapatkan.
“Karena bakal digeser ke hari berikutnya, nanti gajiannya juga mundur juga,” ujar Roni.
Baca juga: Cerita Damir, Kuli Panggul Padi di Lombok Tengah, Pernah Keseleo karena Pematang Sawah Licin
Roni mendapat bayaran dari ‘bos’ yang juga merupakan pemilik lahan dimana tambang batu bara berada. Gajinya dibayarkan satu minggu sekali.
“Sekali gajian dapat Rp 700.000 sudah bersih dipotong upah kenek juga,” ungkap dia.
Gaji tersebut kemudian akan diserahkan ke istrinya untuk biaya hidup sehari-hari. Namun tiga bulan sekali, satu kali gajinya tidak diberikan ke istri karena akan digunakan untuk servis sepeda motor.
“Karena kerjanya berat, jadi jajannya juga banyak, sekali servis bisa sampai satu juta rupiah,” kata dia.
Sembilan tahun menggeluti kerjaan sebagai Kuli Ngepok, Roni mengatakan hidupnya belum bisa disebut berkecukupan, bahkan seringnya malah kurang.
Apalagi, kata dia, saat harus proses pindah lubang ke tambang baru, maka kegiatan kegiatan ngepok tidak dilakukan setiap hari bahkan bisa sampai libur berbulan-bulan.
“Kalau lubang di sini batu baranya habis harus pindah buat lubang lain cari yang masih ada, menggalinya hingga ke titik ada batu bara bisa samai tiga bulan, saat itu saya libur ngepok, kerja serabutan yang lain,” kata dia.
Roni mengaku tidak punya pilihan kerjaan lain karena kerterbatasan pendidikan yang hanya lulusan SD.
Jika ada pekerjaan lain yang lebih layak, dia mengaku ingin berganti profesi, namun sejauh ini tidak ada peluang untuk hal tersebut.
“Belum pernah kerja yang lain, di kampung ini mayoritas para lelaku kerjanya ngelubang (membuat lubang tambang) dan ngepok,” kata dia.
Dia juga menyadari profesinya penuh resiko, apalagi tambang batu bara yang dikelola warga masih belum ada izin alias ilegal.
“Tahu risikonya, tapi gak ada pilihan lain, kalau ada yang melarang, silahkan beri kami mata pencaharian lain,” kata dia.