MAUMERE, KOMPAS.com - Perempuan paruh baya itu tampak sibuk mengayak pasir, Kamis (10/3/2022) sore.
Tangannya yang kurus tampak lincah memindahkan batu dan pasir. Keringat yang mengucur tak dihiraukannya.
Demi menafkahi keluarga dan membiayai pendidikan anak-anaknya, ibu bernama (47) tersebut bertahan menjadi penjual pasir dan kerikil, pekerjaan yang cukup berat dilakukan oleh seorang wanita.
Baca juga: Geliat Ekonomi di Sirkuit Mandalika, Penjual Kaus Raup Untung Rp 300.000 Per Hari
Mia mengaku, ia harus menjadi tulang punggung, semenjak sang suami meninggalkannya tahun 2013 silam.
Sejak saat itu, ia berjuang seorang diri untuk menghidupi dan menyekolahkan kedua anaknya.
"Satunya sudah tamat SMA, sekarang lagi cari kerja. Satunya lagi masih SD," ujar Mia saat ditemui Kompas.com, Kamis sore.
Baca juga: Kasus Stunting di Kabupaten Manggarai NTT Masuk Kategori Merah, Bupati: Itu Kabar Buruk
Setiap hari, Mia berjualan pasir dan kerikil di kompleks belakang Mahardika, Kelurahan Madawat, Kecamatan Alok, Kabupaten Sikka, NTT. Lokasinya tidak jauh dari tempat tinggal Mia.
Saat Subuh, Mia sudah berada di tempat usahanya itu. Ia hanya bermodalkan sekop untuk mengangkut pasir, dan palu yang digunakan untuk memecah batu menjadi kerikil.
"Di sini setiap hari saya jual pasir. Sudah belasan tahun, sejak saya ikut bapak kecil jualan pasir di sini," ujarnya.
Baca juga: Cerita Benyamin Kanuk, Kepala Desa di NTT yang Tolak Bantuan Dana Seroja Rp 50 Juta
Mia mengungkapkan, pasir dan kerikil yang dijualnya didatangkan dari Kecamatan Waigete.
Pasir diayak, kerikil dikumpulkan lalu dijual olehnya.
"Saya beli pasir di Waigete, satu truk itu Rp 400.000 hingga Rp 500.000. Sampai sini baru dipisahkan kerikil dan pasirnya. Kalau ada batu besar saya pukul pakai palu," ujarnya.
Baca juga: 9 Pelaku Pemerkosaan Siswi SMP di NTT Ditangkap, 1 Orang Masih Kabur
Mia mengungkapkan pendapatan yang didapat dari jualannya sangat tidak menentu. Apalagi ia tidak memiliki pelanggan tetap.
"Kalau untung, satu hari bisa sampai Rp 100.000 atau Rp 200 000. Tapi saat sepi seminggu baru dapat Rp 200.000 atau Rp 300.000. (Musim) Corona ini susah kadang pulang tanpa bawa uang," kata Mia.
Saat jualannya sedang sepi, biaya pendidikan untuk anak-anaknya sering telat dibayar. Namun, ia selalu yakin pasti ada jalan, walau tertatih-tatih.
Bagi Mia, pekerjaan itu sudah mendarah daging. Ia tidak putus asa. Sebab, tidak ada pilihan lain untuknya mengais rezeki.
"Yang penting kerja dengan halal," pungkasnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.