”Biasanya, saya yang pegang setoran. Lagi pula, hari Minggu, almarhum libur, enggak berdagang,” tuturnya.
Dari pagi hingga petang, Sugandi, Mursidi, dan seorang temannya menjual 40-45 potong es balok seharga Rp 25.000 per es. Harga pokok es balok yang diambil dari Ciwaringin, Bogor Tengah, itu Rp 18.000 per balok es. Dari usaha itu, mereka bisa mendapat keuntungan sekitar Rp 300.000 yang lalu dibagi tiga.
”Motivasinya dimungkinkan perselisihan. Bukan perampokan. Dompet korban utuh, dengan uang beberapa ratus ribu rupiah. Korban juga tidak membawa telepon genggam,” kata Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Bogor Kota Ajun Komisaris Didik Purwanto.
Dia mengaku masih mengumpulkan petunjuk serta keterangan saksi. Pihaknya juga masih berusaha menemukan senjata yang digunakan untuk menyayat leher korban.
Menurut Didik, kasus pembunuhan ini menjadi yang kedua di Kota Bogor selama 2013. Sebelumnya, seorang perempuan muda dibunuh di rumah kontrakannya di Tanah Sareal. Pelaku bahkan belasan kali menusuk punggung, dahi, dan leher korban dengan pisau.
Sementara itu, berdasarkan data Polres Bogor Kota, pada tahun 2012 ada enam kasus pembunuhan, naik dua kali lipat dibanding dengan tahun 2011.
”Faktor pendorong bisa jadi karena posisi Kota Bogor sebagai penyangga ibu kota Jakarta, tentu juga akan diikuti dengan kompleksitas kejahatan yang terjadi, termasuk penganiayaan berat yang menyebabkan kematian,” kata Didik.
Selain itu, menurut Didik, kriminalitas yang terjadi di Bogor juga sebagai dampak kondisi sosial dan psikologi masyarakat yang menghadapi kompleksitas persoalan perkotaan, seperti pertarungan mencari sumber pencrian. Tidak jarang, hal ini juga memicu kekerasan dan kriminalitas.