Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

UN dan Tikus Busuk di Sekolah Kami

Kompas.com - 22/04/2013, 02:10 WIB

Kemdikbud via Dirjen Dikti bisa membuat kategorisasi PTN dan jalur masuknya seperti pada akhir 1970-an dan awal 1980-an: Proyek Perintis 1, 2, 3, dan 4. Keunggulan sistem ini adalah setiap siswa sejak awal harus segera memetakan kemampuannya, lalu memilih jalur mana yang akan diikuti. Tidak ada siswa ikut dua jalur, kecuali yang gagal di jalur 2, yakni tanpa tes. Juga tidak ada siswa yang masuk karena diskriminasi kemampuan ekonomi.

Harus diakhiri

UN harus diakhiri karena UN telah merusak mental siswa, guru, kepala sekolah, serta orang dari instansi terkait dalam bentuk rencana dan praktik kecurangan yang sistematis. Kehadiran orang PTN sebagai pihak luar tidak banyak membantu kondisi di lapangan.

Secara normatif jelas tidak ada satu pihak pun yang mau mengakui kecurangan ini. Bahkan, ada argumen konyol yang mengatakan, kecurangan tidak hanya terjadi sekarang, tetapi juga sejak dulu (zaman Mendikbud di SMA). Benar, dulu kecurangan memang ada, tetapi personal, tidak masif, dan sistematis.

Kecurangan UN lebih lanjut menyebabkan dusta dan kepurapuraan. Tentu bukan karakter ini yang mau dihasilkan dalam pendidikan karakter kita, di mana UN dan kecurangannya ibarat tikus mati dan bau busuk di awal tulisan ini. Bau busuknya menyebar ke mana-mana dan dirasakan semua orang meskipun tikusnya sendiri tak ditemukan.

Semoga Mendikbud, oleh sebagian orang dikenal sebagai spiritualis, mampu menangkap pesan spiritual dari tikus mati ini. Terlalu mahal taruhan bagi bangsa ini untuk mempertahankan UN yang jelas-jelas merusak mental secara masif. Hentikan UN dan ganti dengan yang lain, yang tidak menimbulkan kebusukan.

Agus Purwanto Fisikawan Teoretik ITS; Pernah Menjadi Kepala SMA di Surabaya

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com