Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kegelisahan Seorang Petani Tembakau

Kompas.com - 12/04/2013, 00:57 WIB

Peresensi: Hilyatul Auliya, Alumni Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Judul Buku: Tembakau atau Mati
Penulis: Wisnu Brata 
Penerbit: Indonesia Berdikari
Cetakan: I, Desember 2012
Tebal: 137 Halaman

“Saat panen tembakau sedang bagus, Cuma ada satu golongan yang tidak mendapat bagian rezeki tembakau, yaitu penjual daging. Soalnya, daripada ke kios daging, orang-orang lebih memilih ke pasar hewan, membeli sapi utuh-utuh untuk disembelih.” (anekdot masyarakat Temanggung)
Isu rokok memang berkembang secara dramatis. Antara fakta dan mitos menjadi semakin sulit untuk dipilah. Saking derasnya pemberitaan yang berseliweran tentang bahaya rokok, kebanyakan orang akan langsung saja mengamini ketika ada pernyataan bombastis bahwa sebatang rokok dapat mengurangi 5 menit hidup manusia.

Akan tetapi, efek dari informasi yang disebarkan secara besar-besaran perihal bahaya rokok sudah langsung terasa. Baik melalui peraturan perundang-undangan yang membatasi ruang lingkup perokok, iklan rokok, pajak yang tinggi atas rokok, hingga petani tembakau, pihak yang menggantungkan penghidupannya pada komoditas yang bernama latin Nicotiana Tabacum tersebut, terutama petani tembakau di Temanggung, Jawa Tengah, yang selama ini dikenal sebagai produsen tembakau.

Buku berjudul Tembakau atau Mati ini, menyajikan curhatan seorang petani tembakau asal Temanggung, pihak yang selama ini kerap dilupakan dan tenggelam oleh suara lantang para politisi, ekonom, aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) atau budayawan, yaitu petani tembakau itu sendiri. Warga masyarakat yang menggantungkan hidupnya pada komoditas tersebut.

Ditulis oleh Wisnu Brata, petani tembakau asli Temanggung jebolan Fakultas Ekonomi Universitas Islam Indonesia (UII) yang pada tahun 2000 silam mendirikan Paguyuban Petani Tembakau Sindoro-Sumbing (PPTSS). Dengan demikian karya ini merupakan suara dari petani tembakau.
Petani yang meletakkan urusan hidup-matinya pada tembakau, besar dan dibesarkan bersama tembakau, bisa sekolah karena tembakau, memenuhi kebutuhan, baik yang primer maupun yang sekunder, bahkan yang tersier sekalipun oleh tembakau, dan pada akhirnya mau tak mau harus bertempur sendirian menghadapi gempuran penolakan terhadap tembakau serta seluruh tradisi yang khas menyertainya.

Dengan demikian, membela eksistensi tembakau, bagi masyarakat lereng gunung Sindoro-Sumbing-Prau, Temanggung ini, tak ubahnya dengan membela eksistensi mereka sendiri. Melarang tembakau berarti menyruruh mereka bunuh diri. Selain itu, bagi para petani di Temanggung lebih dari sekedar urusan hidup dan mati, namun juga memiliki dimensi spiritual sekaligus ekonomi. 
Di Temanggung, tembakau ditanam pada pertengahan musim hujan dan dipanen pada puncak musim kemarau. Namun karena sebagian wilayahnya memiliki kemiringan lahan serta dataran tanah di atas 1.100 meter dpl., para petani di beberapa daerah harus menunggu hampir tujuh bulan untuk bias menikmati hasil panen tembakaunya. (Halaman 17-18)

Meski demikian, hal tersebut tidak menyurutkan mereka untuk setia menanam tembakau. Dengan kata lain, dramatisasi serta tuduhan yang beredar bahwa para petani tembakau hanyalah “sapi perahan” pabrik-pabrik rokok besar tidak bias dibenarkan sepenuhnya. Bahkan para petani memiliki posisi tawar yang lebih baik di hadapan pedagang.

Alasannya, pertama, tembakau adalah jenis fancy product, di mana harganya ditentukan oleh mutunya. Jika tembakau petani bermutu baik, apalagi sangat baik, petani akan menjadi idola dalam semusim. Kedua, karena semaraknya pemain di level pedagang perantara.

Sebagai kabupaten yang dinaungi dua gunung kembar legendaries di Jawa bagian selatan, Sumbing dan Sindoro, juga beberapa gunung berukuran kecil seperti Batok dan Prau, sebagian penduduk Temanggung bermukim di desa-desa yang berada di ketinggian di atas 1.000 meter dpl. (Halaman 105)

Tembakau adalah pohon kehidupan bagi sebagian besar masyarakat Temanggung. Mereka memiliki tautan hampir dalam segala hal dengan tembakau; hidup dan mati, duniawi dan ukhrowi, fisik dan mental, juga social dan ekonomi.  Mereka bertautan erat dengan tumbuhan yang masuk dalam famili Solanaceae –berkerabat dengan terong, tomat, kol, kentang, dan cabe- itu.
Sehingga menjadi masuk akal ketika ada gerakan sistematis yang bertujuan untuk menghabisi komoditas tembakau, masyarakat Temanggung melakukan perlawanan. Alasan kesehatan yang selama ini didengungkan, menurut mereka, hanyalah dalih dari strategi imperialisme model baru memasuki kedaulatan negara, mengingat isu tersebut mulai dihembuskan dari Amerika.

Padahal faktanya, tembakau menjadi komoditas yang memiliki signifikansi di bidang pertanian, keuangan, dan juga perdagangan. Tembakau selain menjadi komoditas andalan petani di berbagai negara, juga mempunyai kontribusi yang besar terhadap keuangan negara melalui cukai dari produksi, distribusi, dan konsumsi rokok. Pemasukan dari cukai rokok saja di tahun 2005 mencapai angka Rp. 32, 6 triliun.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Terkini Lainnya

    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com