Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Martabat Manusia dan Negara

Kompas.com - 28/03/2013, 02:14 WIB

Salah satu sebab hipotetis dari tragedi ini mau tidak mau menggugat kehadiran negara. Negara digugat jika para pelaku pamer kekerasan brutal itu tidak dapat ditemukan seperti layaknya pekerjaan yang dilakukan siluman, leak, atau begu ganjang dalam potongan kisah rakyat kecil di Jawa, Bali, dan Batak. Menghadapi operasi ”siluman” jangan sampai negara seakan terkesan tidak berfungsi, diam, dan telah dikalahkan, bahkan mungkin ”takut”.

Gugatan ini wajar karena pamer kekerasan brutal dapat menyampaikan pesan yang mencemaskan, yaitu terdapat ”negara” di dalam negara yang kita sebut sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ini. Bukankah ketika pelakunya tidak dapat ditemukan, watak monopoli negara dalam penggunaan kekerasan itu telah tercederai atau hilang?

Karena itu, yang dipertaruhkan bukanlah sekadar martabat manusia, melainkan juga martabat NKRI sebagai institusi yang seharusnya memiliki monopoli dalam penggunaan kekerasan. Tidak akan terdapat penghormatan terhadap martabat negara ketika martabat manusia diingkari. Demikian juga sebaliknya. Tidak akan terdapat penghormatan manusia ketika martabat negara sebagai pemilik monopoli penggunaan kekerasan dicederai dan dilecehkan. Hubungan martabat negara dengan martabat manusia, karenanya, haruslah dilihat secara simbiotik.

Karena itu pula, para petinggi negara yang menangani urusan penggunaan kekerasan harus dapat menunjukkan sikap perwiranya. Bukankah keteladanan dari kata perwira itu ditunjukkan oleh keberanian mempertanggungjawabkan kata sealur dengan perbuatannya?

Kita perlu menyadari benar bahwa kegagalan menghormati martabat manusia berdampak sangat serius di masa depan. Ada baiknya barangkali kita belajar dari kasus Yugoslavia, seperti yang dipaparkan oleh Serge Brammerts (2012).

Penulis ini menyatakan bahwa konflik kekerasan bersenjata merupakan lahan paling subur untuk menumbuhkan kejahatan yang terorganisasi. Pemerintah pusat yang lemah dan masyarakat madani (civil society) yang tercerai-berai pun menjadi lahan yang subur bagi pertumbuhan kejahatan yang terorganisasi. Lebih jauh, Brammerts menyatakan, situasi yang paling menyedihkan akan terjadi apabila kejahatan yang terorganisasi memiliki jaringan mata rantai dengan institusi-institusi negara.

Jaringan seperti ini merebak apabila orang-orang yang berada dalam struktur kekuasaan negara mengooptasi pelaku-pelaku kejahatan untuk tujuan politik. Dalam kasus Yugoslavia, disebutkan para petinggi negara mencari bantuan dari para pelaku kejahatan selama masa konflik kekerasan di negeri itu. Pelaku kejahatan diminta melakukan aksi bersenjata dan penyebaran teror. Tujuan dari pelibatan ini adalah untuk memberi kesan bahwa pemimpin politik negeri itu bukan pelakunya.

Harus ditemukan

Kasus Yugoslavia memang menunjukkan fakta-fakta menyedihkan. Di tengah situasi seperti itulah, disebutkan muncul sejumlah unit khusus yang anggotanya merupakan para pelaku kejahatan (seperti batalyon Convicts, Scorpion, Arkan Tiger, dan Juka).

Orang-orang yang berada dalam unit khusus ini memiliki hubungan yang sangat karib dengan pemimpin politik yang berhubungan dengan institusi penggunaan kekerasan. Selain memiliki hubungan karib seperti itu, organisasi kejahatan ini memiliki jejaring hubungan satu dengan lainnya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com