Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dari "Maknyus" ke Rezeki Itik

Kompas.com - 08/01/2013, 05:42 WIB

KOMPAS.com - Tiga tahun lalu mereka tidak membayangkan kalau usaha mereka bisa melonjak. Publikasi yang gencar dan terutama acara kuliner di televisi soal nikmatnya menu itik (bebek) menjadikan peternak panen rezeki.

”Setelah publikasi yang gencar dan acara kuliner di televisi hingga muncul istilah maknyus, peternak bebek sejak tiga tahun lalu untung besar. Permintaan melonjak,” kata Ketua Kelompok Tani Ternak Itik (KTTI) Adem Ayem di Desa Pakijangan, Kecamatan Bulakamba, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah, Atmo Suwito Rasban (43).

Soal bebek atau itik yang membawa rezeki ini, hal itu kadang menjadi rancu. Dua unggas tersebut merupakan hewan yang berbeda. Akan tetapi, peternak dan konsumen kadang telanjur menyebut bebek, padahal sesungguhnya unggas itu adalah itik. Peternak selalu menyebut bebek, padahal yang dipelihara adalah itik. Banyak yang menyebut warung atau rumah makan bebek, padahal yang dijual adalah itik.

Atmo menuturkan, sebelum 2009 permintaan itik di kelompok taninya memang sudah ada, tetapi jumlahnya hanya sekitar 2.000 ekor. Itu pun dipasok dari itik apkir atau itik petelur yang sudah tua dan tidak lagi produktif.

Sejak tiga tahun lalu, mereka mengembangkan itik pedaging. Itik ini dipelihara dalam waktu sekitar dua bulan dan langsung dijual ke pasar.

”Pembelinya orang Jakarta. Sejak ada acara kuliner, permintaan memang melonjak. Rezeki kami melonjak,” kata Duladi, peternak lainnya. Ia mencontohkan, kini ia bisa membeli sepeda motor dan membangun rumah dari rezeki itik.

Namun, sejak munculnya kasus flu burung, peternak sangat cemas.

Warim (52), peternak itik di Desa Pakijangan, merupakan satu dari 85 peternak itik yang tergabung dalam KTTI Adem Ayem. Ayah tiga anak itu menggantungkan hidup dari beternak itik sejak 10 tahun lalu.

Bersama istrinya, Yati (40), dia bahu-membahu memelihara itik untuk diambil telur atau dijual dagingnya guna menghidupi keluarga dan membiayai sekolah anak-anaknya. Warim memiliki tiga anak, yaitu Dedi (22), Sriyanto (15), dan Eef Saefuloh (12). Dedi sudah lulus SMA, sedangkan Sriyanto masih duduk di bangku SMA dan Eef di bangku SMP.

Namun, ketenangan hidup keluarga tersebut terkoyak oleh kehadiran virus flu burung yang menyerang ternak itik di Brebes dan daerah-daerah lain di Indonesia sejak November 2012. Virus ini mengakibatkan matinya itik peternak, termasuk itik milik Warim.

Sekitar 1.000 itik pedaging milik Warim mati terserang virus flu burung. Padahal, itik-itik itu sudah berusia 55 hari atau tinggal lima hari lagi untuk siap dipanen. Warim merugi sekitar Rp 30 juta akibat kejadian tersebut.

”Sekarang kondisinya sedang kritis,” katanya. Harapan bisa memetik keuntungan dari ternak itik pedaging pupus sudah.

Dalam keterpurukan, saat ini dia mencoba kembali menata hidup dengan memelihara itik petelur. Warim nekat menjaminkan sertifikat tanah untuk meminjam uang di bank sebesar Rp 20 juta, dengan kewajiban mengangsur Rp 2 juta per bulan selama satu tahun.

Uang itu digunakan untuk modal membeli 700 itik petelur yang sudah berusia lima bulan (itik bayah) atau itik siap produksi. Hasil penjualan telur dari itik-itik yang dipeliharanya sejak Desember lalu itu diharapkan cukup untuk mengangsur pinjaman bank dan kembali menopang hidup keluarganya.

Meskipun demikian, Warim tak ingin berspekulasi. Untuk berjaga-jaga, dia juga mencari pekerjaan lain, menjadi sopir mobil bak terbuka. Dia menyopiri mobil bak pengangkut itik atau bawang merah dengan upah Rp 50.000 per hari.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com