Ahmad Arif
Kato meraih penghargaan bergengsi di Jepang, The Invention Prize, karena jasanya mengembangkan global positioning system
Ia menjadi salah satu tumpuan pertanyaan masyarakat Jepang tentang ”kegagalan” ilmuwan memprediksi dan mengantisipasi gempa raksasa. Sejak pagi, puluhan wartawan antre menemui sang profesor. ”Jepang termasuk paling maju memperkirakan gempa. Namun, gempa Jumat (11/3/2011) mengajarkan, semua jauh dari cukup,” kata Kato.
Kato mengakui, ilmu prediksi gempa dan peringatan dini tsunami masih lemah. ”Kami belum bisa meramalkan tepat, kapan, di mana, dan seberapa kuat gempa terjadi,” kata dia. ”Kami akan belajar dan memastikan pembangunan lebih baik.”
Semangat Kato berintrospeksi, belajar, dan yakin bisa membangun lebih baik itu cerminan sikap bangsa Jepang, seperti ditunjukkan dengan pembangunan Sendai dengan tata ruang lebih baik (Kompas, 2/1).
Semangat terus belajar itu juga dirasakan Irwan Meilano, ahli gempa dari Institut Teknologi Bandung (ITB) yang merampungkan doktornya di Nagoya University, Jepang.
”Pascagempa Tokyo tahun 1923 yang menewaskan lebih dari 140.000 jiwa, Jepang menjawabnya dengan mendirikan Earthquake Research Institute (ERI) di Tokyo, tahun 1925,” katanya. Saat ini, ERI jadi pusat riset kelas dunia, rumah puluhan periset gempa kelas dunia.
Menurut Irwan, melakukan riset dasar kebencanaan merupakan ciri bangsa bervisi ke depan dan bisa bertahan terhadap bencana geologi yang datang berulang. Amerika Serikat ketika menyadari potensi gempa besar di California memutuskan mendirikan South California Earthquake Center (SCEC). Saat ini, lembaga itu jadi komunitas berdiskusi lebih dari 600 peneliti dari 60 institusi di dunia.