Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mencari Jaminan Keselamatan di Laut

Kompas.com - 14/12/2012, 03:09 WIB

”Mengapa (muatan di Kapal Motor Penumpang Bahuga Jaya) tidak di-lashing (diikat)?” ”Memang tidak di-lashing. Di Merak-Bakauheni terbiasa tidak di-lashing.”

”Bagaimana dengan stabilitas kapal?” ”Saya yakin stabil.”

”Bagaimana dengan proses pemuatan? Siapa yang bertanggung jawab?” ”Ya, ada juru parkir. Truk yang berat di dek bawah, mobil di dek atas. Biasanya memang seperti itu. Tidak pernah bermasalah.”

Dialog itu terjadi di ruang sidang Mahkamah Pelayaran Jakarta, Kamis (22/11). Sidang digelar terkait tabrakan KMP Bahuga Jaya dan kapal MT Norgas Cathinka. Hakim Mahkamah Pelayaran, Benny Hartono, bertanya kepada Kepala Nakhoda KMP Bahuga Jaya Sahat Marulitua Manurung.

Dalam sidang yang sama, Ketua Majelis Hakim Mahkamah Pelayaran Utoyo Hadi bertanya kepada juru mudi KMP Bahuga Jaya, Imam Syafii. ”Saya takut,” kata Imam. Rasa takut itu membuat Imam tidak memperhatikan apa yang terjadi di anjungan.

Imam seharusnya menjadi saksi yang paling mengetahui proses tabrakan KMP Bahuga Jaya dan MT Norgas Cathinka. Saat kejadian, Rabu (26/9), hanya Imam dan mualim I yang berada di anjungan KMP Bahuga Jaya. Mualim I tewas akibat tabrakan itu.

Ironisnya, saat hakim menanyakan banyak hal, Imam mengaku tidak tahu, termasuk saat ditanya, apakah dia melihat ada kapal datang dari depan. ”Saya hanya fokus pada indikator kemudi,” ujarnya.

Lewat serangkaian sidang, majelis hakim Mahkamah Pelayaran, Selasa (11/12), memutuskan Su Jibling, mualim I MT Norgas Cathinka, bersalah. Su Jibling-lah yang harus memikul kesalahan, yang memicu tabrakan MT Norgas Cathinka dan KMP Bahuga Jaya yang menewaskan 7 orang.

Dalam persidangan terungkap bahwa dua kapal bermanuver tanpa berkomunikasi. Radio VHF kanal 16 (saluran internasional) tidak digunakan. Ship traffic control tak berperan mencegah tragedi itu. Norgas baru memanggil Bahuga setelah tabrakan, itu pun tidak dijawab.

Memasuki perairan Indonesia, lalu memasuki Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia, hingga berlayar di Alur Laut Kepulauan Indonesia di Selat Sunda, MT Norgas Cathinka tak mengontak siapa pun. Berbeda halnya jika sebuah pesawat mengontak air traffic control saat memasuki ruang udara Indonesia.

Harus diatur

Semua pihak tentu berharap peristiwa serupa tidak terulang. Wakil Ketua Umum Gabungan Pengusaha Angkutan Sungai, Danau, dan Penyeberangan Bambang Harjo pun berharap segera ada pengaturan. ”Harus diatur pergerakan kapal domestik dan feri dengan kapal asing yang melintasi Alur Laut Kepulauan Indonesia,” ujarnya.

Selat Sunda dengan lintas penyeberangan terpadat di Indonesia (Merak-Bakauheni), kata Bambang, merupakan ujian bagi pemerintah. ”Persilangan feri dan kapal asing terpadat di Selat Sunda. Tiap 3 menit 12 detik ada pergerakan feri dari kedua sisi pelabuhan,” ujarnya.

Tahun 2015, riset Boston Consulting Group memprediksi, 70 persen pergerakan peti kemas di laut akan terkoneksi dengan Asia. Ekonomi Asia memang terus bertumbuh. Karena posisinya strategis, perairan Indonesia juga akan dilintasi 45 persen arus peti kemas.

Dengan potensi tabrakan di laut Indonesia yang sangat besar, selain regulasi tepat, juga dibutuhkan sumber daya manusia (SDM) di bidang pelayaran yang cakap. Ironisnya, meski kebutuhan pelaut sangat tinggi, saat ini dari 83.000 sekolah yang ada, banyak yang tidak layak.

Banyak sekolah itu, ujar Direktur Perkapalan dan Kepelautan Direktorat Jenderal Perhubungan Laut pada Kementerian Perhubungan Kapten Yan Risuandi, yang tidak memenuhi standar karena hanya mengajarkan teori, sedangkan praktiknya kurang. ”Seharusnya sekolah pelaut punya simulator. Namun, sekolah yang memiliki simulator sangat terbatas,” kata Yan.

Kepala Badan SDM Kementerian Perhubungan Kapten Bobby Mamahit mengatakan, kecelakaan sering terjadi karena faktor manusia. Di sekolah pelayaran, perwira dididik sesuai standar Training and Watchkeeping for Seafarers. ”Jadi standarnya internasional,” ujarnya.

Untuk menjaga kualitas lulusan, penyelenggaraan pendidikan selalu diaudit oleh Organisasi Maritim Internasional (IMO). ”Sejauh ini Indonesia masih masuk white list, artinya kompeten,” katanya.

Direktur Politeknik Ilmu Pelayaran Makassar Edy Santoso mengatakan, guna meningkatkan daya saing, PIP Makassar selalu berbenah dengan menyempurnakan kurikulum, fasilitas pendidikan, dan pelatihan. Ruang Full Mission Ship Simulator dilengkapi fasilitas electronic chart display and information system (ECDIs).

Siswa juga diajari berkomunikasi lewat isyarat, seperti membunyikan alarm dan menghidupkan lampu sorot. ”Salah satu pedoman wajib yang harus dipegang ialah jarak aman 6 mil laut (10,8 kilometer) dalam posisi bersilangan,” ujar Edy.

Pada jarak itu, nakhoda wajib memberi tahu posisi lewat isyarat. ”Jika tak ada respons balik, nakhoda mesti cepat ambil keputusan,” katanya.

Direktur Akademi Pelayaran Niaga Indonesia Semarang Djajari mengatakan, selain memperkuat mata kuliah Nautika dan Teknika, Akpelni juga mengasah kemampuan berbahasa Inggris para taruna. Untuk Bahasa Inggris ada 8 satuan kredit semester (SKS) dan ada patokan TOEFL minimal 350.(RYO/ARN/RIZ/SON/DOE)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com