Sebuah resolusi yang berangkat dari hasrat untuk mengembalikan Garut dalam marwah yang mulia. Salah satunya adalah dengan menjadikan etika sebagai haluan utama dalam tata kelola pemerintahannya.
Harus diakui, justru etika inilah yang absen dalam pemerintahan Garut 13 tahun terakhir. Maka, nyaris semenjak reformasi yang mencuat ke permukaan adalah isu negatif seputar korupsi, kolusi, dan terakhir skandal seks nikah siri Bupati Aceng selama empat hari, yang kemudian menceraikan remaja yang dinikahinya melalui pesan singkat di telepon seluler, dengan kata-kata yang tidak cerdas pula.
Ketika etika ini absen, yang kita saksikan adalah eskalasi segala bentuk kebobrokan. Kebobrokan dari pemaknaan risalah otonomi daerah secara salah kaprah. Maka, yang mencuat tidak lebih surplus tindakan primitif, tetapi defisit prestasi. Tengok saja rumah sakit umum Garut yang nyaris bangkrut, angka kemiskinan yang terus meningkat, jeleknya sarana pendidikan di berbagai pelosok Garut, dan suasana birokrasi yang jauh dari kondusif.
Refleksi akhir
Tentu saja Aceng Fikri bukanlah salah satu Raja Padjadjaran. Ia tidak boleh berbuat semaunya tanpa kontrol apalagi tanpa akuntabilitas publik. Fani Oktora juga bukan metamorfosa sang putri Limbangan walaupun rumahnya berdekatan dengan Sungai Cipancar.
Aceng Fikri (dan Dicky Candra) dipilih melalui jalur independen ketika masyarakat Garut mengalami krisis kepercayaan kepada partai politik. Ternyata jalur ini tidak kemudian menjadi garansi kondisi Garut yang lebih baik. Apalagi di tengah perjalanan sang Bupati justru masuk kepengurusan sebuah partai, selain perilaku pribadinya yang sangat tidak pantas.
Maka, pekik para pendemo yang melibatkan anak-anak dan ibu-ibu rumah tangga harus dibaca sebagai sebuah kerinduan untuk mengembalikan Garut dalam suasana damai. Maaf, celana dalam yang diusung para pendemo itu adalah interupsi kultural bahwa ”kejantanan” dalam konteks kuasa harus diekspresikan dalam wujud kesungguhan mengelola pemerintahan, bukan menyalurkan hasrat seksual secara serampangan.
Garut pangirutan (nyaman) seperti dalam novel Fatat Garut karya Sayid Ahmad bin Abdullah Assegaf (lahir 29 Zulhijah 1889 H/1882 M) akan tercapai bila menyimak resolusi Limbangan dan membaca Babad Limbangan lewat tafsir yang mencerahkan!
ASEP SALAHUDIN Dekan di IAILM Suryalaya; Esais Kelahiran Limbangan
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.