Tanggal 23 Oktober 2012, saya bersama Jusuf Kalla tiba di Poso pada pagi hari. Sejam sebelumnya, bom tanpa korban, masih meledak, seolah mengirim pesan bahwa para pelaku kekerasan masih berseliweran dan tiap saat bisa beraksi.
Kami tak peduli dengan itu. Banyak rentetan kekerasan dengan menggunakan bom yang terjadi belakangan ini di Poso diarahkan kepada simbol-simbol negara: pos jaga polisi dan aparat keamanan. Bahwa ada rakyat sipil yang kena, tampaknya itu hanya dampak. Dengan potret ini, jelaslah bahwa motif kekerasan tersebut adalah anti terhadap negara.
Motif bisa jadi muncul lantaran negara berhasil menyapu, menangkap, dan menindak para pelaku kekerasan yang biasa dilabel sebagai teroris di berbagai tempat. Kesuksesan negara mengatasi tindak kekerasan ini membuat mereka meradang dan ingin membalas kepada negara. Pertanyaannya kemudian, mengapa tindakan balas dendam itu dilakukan di Poso?
Tidak pelik menjawabnya: Poso adalah kawasan dengan sisa puing konflik horizontal yang terjadi lebih dari sepuluh tahun lalu. Sekam kekerasan masih ada dan setiap saat bisa menyala lagi. Poso adalah kumpulan ilalang kering yang masih begitu mudah terbakar.
Konflik horizontal, di mana pun, selalu membutuhkan rentang waktu yang begitu panjang untuk memulihkannya. Konflik horizontal tidak hanya meninggalkan kerugian material dan luka badan, tetapi juga luka rasa dan hati.
Para teroris memahami betul psikologi ini. Karena itu, mereka menjadikan Poso sebagai tempat membalas dendam, dengan harapan sekam sisa-sisa konflik masa lalu itu bisa dengan enteng dinyalakan lagi.
Untunglah, hingga kini, kedua komunitas yang pernah bersilangan jalan dan saling menafikan itu tidak terprovokasi. Mereka sudah hidup berdampingan dan merasakan nikmatnya keteduhan dan kedamaian, yang bebas dari ingar-bingar peperangan.