Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Belajar dari Banjir Bandang Bukit Lawang

Kompas.com - 24/08/2012, 02:38 WIB

Kepala Pusat Informasi Kehutanan Tachrir Fathoni menjelaskan, banjir bandang adalah karakter khas alam hulu subdaerah aliran Sungai Bohorok yang memiliki kemiringan lahan lebih dari 60 persen. Daerah ini rawan longsor. Apalagi, beberapa hari sebelum banjir curah hujan meningkat hingga lima kali lipat, hingga 100 mm per hari. Banyaknya korban jiwa karena banyak bangunan berada di bantaran dan badan sungai.

Berdasar studi Balai Sabo dan Japan International Cooperation Agency (JICA) tahun 2003, yang terangkum dalam Penyusunan Arahan Pemanfaatan Ruang Daerah Aliran Sungai Bahorok, jumlah batang kayu yang tertinggal di palung saat banjir mencapai 70.000 meter kubik. Endapan pada dasar sungai setelah banjir dari Bukit Lawang ke hulu mencapai 300.000 meter kubik. ”Ketinggian air waktu itu sampai seatap rumah, sekitar lima meter jika diukur dari tepi sungai,” ujar Sarja (58), warga.

Pemerintah menilai banjir bandang itu murni bencana. Namun, korban menyadari petaka itu akibat ulah manusia. Penebangan liar yang kerap terjadi di hutan TNGL dan hutan produksi terbatas diduga menjadi penyebab utamanya. Ini mengacu pada banyaknya gelondongan kayu yang ikut terbawa air bah.

Kayu itu pula yang menjadi penahan air hujan di hutan. Ketika volume air terus bertambah dan kayu tak kuat menahannya akan berubah menjadi air bah.

Menjaga lingkungan

Desa Bukit Lawang atau kawasan Wisata Bukit Lawang memiliki luas 785,49 hektar atau 3,65 persen dari DAS Bahorok, yang luasnya mencapai 21.493 hektar. Sesuai data Pemerintah Kabupaten Langkat, daerah ini adalah dataran banjir karena posisinya berada di lembah. Lokasi ini juga rawan longsor sebab 68 persen DAS Bahorok memiliki kemiringan 30 persen sampai 70 persen.

Peristiwa itu membuat warga Bukit Lawang makin mawas diri. Kini tak ada lagi yang berani menebang kayu di TNGL karena warga menerapkan hukuman berat. Kalau ada warga Bukit Lawang yang nekat mengambil kayu dari hutan, warga lain memaksanya untuk mengembalikan ke tengah hutan. Jika orang luar Bukit Lawang yang menebang pohon, ”Mereka tak akan bisa pulang,” kata Bambang KWW (39), aktivis lingkungan Desa Bukit Lawang.

Menurut Bambang, warga bertekad memusuhi siapa saja yang menebang pohon di hutan TNGL. Warga tak ingin petaka tahun 2003 terulang.

Kepala Subbagian Data, Monitoring, Evaluasi, dan Humas Balai Besar TNGL Rahmad Saleh mengatakan, warga Bukit Lawang sangat protektif terhadap hutan. Mereka selalu bereaksi ketika mendengar bunyi gergaji di tengah hutan.

Kondisi ini berbeda dengan beberapa daerah lain seperti di Sei Lepan dan Tangkahan, Langkat. Di kedua lokasi ini lebih banyak warga sekitar yang membabat hutan daripada pendatang. ”Pola proteksi terhadap hutan seperti yang dilakukan warga Bukit Lawang perlu dikembangkan,” ujarnya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com