Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tougutil, Penjaga Hutan Halmahera

Kompas.com - 17/07/2012, 02:54 WIB

A Ponco Anggoro

Satu jam menyusuri Sungai Aketajawe, Antonius Jumati (60) menemukan sesuatu yang dicarinya. Di antara pepohonan lebat di tepian sungai dicabutnya beberapa daun warna merah pada sisinya. Suku Tougutil menyebutnya daun lungu-lungu.

”Ini obat sakit kepala,” tutur Jumati, warga suku Tougutil, memberi tahu anaknya, Igo (9), yang mengikutinya siang itu, pekan lalu. Bapak dua anak itu lalu menempelkan sisi merah daun lungu-lungu ke kening Igo. ”Cukup ditempelkan seperti ini, dan tidak sampai satu hari sakit kepala akan hilang,” tambahnya.

Tak jauh dari lokasi yang masuk dalam Taman Nasional Aketajawe Lolobata, di pedalaman Pulau Halmahera, Maluku Utara, itu Jumati mengambil daun lainnya, daun kuli lawang. Daun berwarna putih itu biasa dipakai untuk menghilangkan pegal linu. Daun cukup direbus dalam air lalu langsung diminum.

Jumati kemudian menunjukkan batang kayu telor yang biasa dipakai untuk mengobati malaria. Pokok dari batang itu seperti pohon beringin. ”Kulit batang dicukur, batangnya diremas, lalu airnya diminum. Rasanya pahit sekali, tetapi tidak sampai satu hari malaria pasti sembuh,” katanya.

Hal itu bukan isapan jempol belaka. ”Salah satu murid saya, Doko Darom, pernah terkena malaria. Setelah diobati batang kayu telor, keesokan harinya dia sembuh dan bersekolah lagi,” ujar Faris, aktivis Forum Studi Halmahera yang pernah mengajar anak-anak Tougutil selama dua bulan, tahun 2008.

Bergantung pada alam

Penggunaan dedaunan untuk penyembuhan penyakit hanya satu gambaran kehidupan 7 keluarga, atau 67 warga, suku Tougutil di sepanjang Sungai Aketajawe, yang masih bergantung pada alam. Di alam mereka tinggal, dan dari alam pula mereka mencari makanan dan minuman untuk kebutuhan sehari-hari.

Di antara pepohonan yang lebat di tepi Aketajawe, tempat tinggal mereka berbentuk seperti rumah panggung. Setiap keluarga memiliki satu tempat tinggal. Jarak antartempat tinggal itu berjauhan.

Setiap tempat tinggal hanya terdiri atas satu ruangan. Tidak ada dinding sama sekali, beratapkan daun woka, dan kayu papan menjadi lantainya. Luasnya pun tidak lebih dari 16 meter persegi. Keluarga yang anggotanya banyak harus berdesak-desakan saat tidur.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com