Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mandiri Energi dengan Biogas Kotoran

Kompas.com - 19/06/2012, 03:18 WIB

Dusun Kanten, yang sebagian wilayahnya berada di tepian Bengawan Solo, dihuni warga yang sebagian menyandarkan hidup pada peternakan dan pertanian, terutama peternakan babi dan sapi. Tidak kurang dari 20.000 ekor babi milik warga dan pengusaha ternak tersebar di dusun yang terletak di Desa Sroyo, Kecamatan Jaten, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah itu.

Lebih dari 15 tahun peternakan babi berkembang di dusun itu, dan selama itu pula limbah kotoran dibuang langsung ke sungai atau anak Bengawan Solo. Praktis, mudah, dan tidak membutuhkan biaya. Akibatnya, tidak heran jika sungai semakin tercemar. Air keruh dan berwarna kecoklatan terlihat saat kita menyusuri Bengawan Solo yang melintasi dusun ini, bercampur dengan air berwarna hitam limbah dari pabrik tekstil dan pabrik kimia yang berlokasi tak jauh dari Dusun Kanten.

?”Saya prihatin, dusun saya begini. Banyak limbah kotoran babi dibuang ke sungai,” ungkap Dwi Yuniati, warga Kanten yang berkuliah di Jurusan Fisika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA) Universitas Sebelas Maret Solo (UNS), pekan lalu.

Dwi pun mengajak dua rekannya, Agus Sriwulansari, yang kuliah di Jurusan Biologi, dan Silami Dwi Wijayanti, yang kuliah di Jurusan Kimia, di kampus yang sama, untuk mencari solusi permasalahan masyarakat. Mereka sepakat membuat biogas dari limbah kotoran babi. Proposal rencana ini dikirimkan ke Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan mendapatkan dana Rp 10 juta.

Ketiganya lantas meminjam dana sana-sini untuk segera merealisasikan gagasan, sementara bantuan belum turun. Dari pendekatan kepada seorang peternak bernama Wahyudi, ia bersedia lahannya digunakan untuk pembangunan infrastruktur biogas. Akhirnya, terbentuk satu unit pengolah limbah menjadi biogas berukuran 10 meter kubik.

Dari uji coba itu, sudah dua bulan ini dimanfaatkan hasilnya. Biogas disalurkan ke warung makan milik kakak Wahyudi untuk menghidupi empat tungku kompor. ?”Sebulan biasanya kakak saya mengeluarkan dana Rp 450.000 untuk membeli elpiji. Namun, kini dia tak keluar uang lagi,” kata Wahyudi.

Keberhasilan Dwi dan kedua rekannya itu menarik minat peternak lain untuk membuat infrastruktur biogas serupa. Ada tiga peternak lain yang mengikuti membuat biogas dari limbah kotoran babi. ?”Salah satunya Pak Alex. Dia bahkan membuat pengolah limbah lebih besar, 60 meter kubik. Gasnya digunakan untuk menghangatkan anak babi dan penerangan di kandang,” kata Wahyudi.

Menurut Dwi, banyak peternak yang tertarik membuat biogas untuk memanfaatkan limbah kotoran ternak mereka. Namun, kebanyakan terkendala biaya dan kebutuhan lahan yang luas. Untuk satu unit pengolah limbah berkapasitas 10 meter kubik membutuhkan biaya Rp 11 juta. Karena bantuannya belum turun sepenuhnya, ia masih berutang Rp 3 juta.

Untuk tabung pembuangan limbah membutuhkan lahan 3,6 meter, belum termasuk untuk tabung digester dan bak pencampur. Dwi pun berharap ada bantuan pemerintah dan kesadaran warga untuk memanfaatkan limbah itu. (Sri Rejeki)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com