Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pancasila Diimpikan Tanpa Dibumikan

Kompas.com - 05/06/2012, 03:26 WIB

YUDI LATIF

Dalam dekapan hawa musim gugur yang mendingin, 23 Oktober 2011, ratusan orang memadati ballroom Hotel Great Wall Sheraton di pusat kota Beijing untuk mendiskusikan buku Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila.

Seorang peserta bertanya kepada penulis, ”Menurut Bapak, manakah yang lebih baik antara komunisme dan Pancasila. Jika Bapak berani mengatakan Pancasila lebih baik, mana buktinya bahwa kehidupan warga di bawah payung Pancasila lebih baik daripada kehidupan warga di bawah payung komunisme seperti di China ini?”

Pertanyaan tersebut mewakili kesadaran banyak orang dalam menyoal Pancasila. Setelah 67 tahun Pancasila dilahirkan, keluhuran nilai-nilainya sebagai dasar dan haluan bernegara terus diimpikan tanpa kemampuan untuk membumikannya.

Sebuah penantian kesia-siaan menyerupai kisah Waiting for Godot karya Samuel Beckett. Alkisah, Vladimir dan Estragon berhari-hari menanti di jalan sunyi kedatangan makhluk misterius bernama Godot. Setelah yang dinanti tak kunjung datang, keduanya memutuskan untuk pergi. Estragon: ”Baiklah, haruskah kita pergi?” Vladimir: ”Ya, mari kita pergi.” Meski begitu, keduanya tidak bergerak, tetap di tempat.

Waktu terus berlalu, meninggalkan bangsa Indonesia yang terus menanti pendaratan mesiah Pancasila. Penantian yang tak kunjung datang melahirkan sumpah serapah. Dalam kaitan ini, warisan terburuk dari pemerintahan otoriter adalah ketidaksanggupan warga untuk membayangkan sisi-sisi baik dari masa lalu. Masa lalu dipandang sebagai sumber kutukan. Pancasila yang diindoktrinasikan di masa lalu lantas ramai-ramai dihapus dari kurikulum sekolah dan kesadaran kenegaraan.

Setelah sumpah serapah dimuntahkan atas penantian yang dijanjikan masa lalu nan tak kunjung datang, kita memutuskan pergi untuk mengubah keadaan lewat reformasi. Nyatanya, keputusan pergi itu tidak diikuti oleh pergerakan. Perubahan demi perubahan prosedural terus terjadi untuk membuat kehidupan tetap jalan di tempat.

Dalam kegelapan harapan ke depan, orang-orang kembali menengok masa lalu. Pancasila kembali dirayakan. Namun, sekali lagi, tanpa kesungguhan usaha untuk membumikan. Kepedulian terhadap Pancasila berhenti sebagai komedi omong, yang tingkat kedalamannya hanya sampai di tenggorokan. Kadar pembumian Pancasila hanyalah berayun dari seremoni penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) ke seremoni sosialisasi Empat Pilar (4P), tanpa kekayaan metodologi dan perluasan imajinasi pematrian nilai-nilai Pancasila itu dalam pembentukan karakter bangsa.

Radikalisasi Pancasila

Setiap pandangan hidup atau ideologi yang ingin memengaruhi kehidupan secara efektif tak bisa diindoktrinasikan sebatas upacara, tetapi perlu mengalami apa yang disebut Kuntowijoyo sebagai proses ”pengakaran” (radikalisasi). Proses radikalisasi ini melibatkan tiga dimensi ideologis: keyakinan (mitos), penalaran (logos), dan kejuangan (etos).

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com