Kegagalan dalam memahami aspirasi masyarakat di suatu wilayah tertentu juga ditunjukkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam kasus Daerah Istimewa (DI) Yogyakarta. Presiden ingin mengubah status keistimewaan Yogyakarta yang, antara lain, menetapkan Sultan Hamengku Buwono dan Paku Alam sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DI Yogyakarta.
Atas alasan ingin menyamakan dengan provinsi-provinsi lain, Presiden mengatakan, Gubernur dan Wakil Gubernur DI Yogyakarta juga harus dipilih melalui pemilihan umum kepala daerah. Dan, disusunlah Rancangan Undang-Undang (RUU) Keistimewaan Yogyakarta.
Yang menjadi pertanyaan, mengapa Presiden ”mengganggu” sesuatu hal yang telah berlangsung dengan baik selama 67 tahun. Padahal, masih banyak persoalan penting yang mengantre untuk diselesaikan segera oleh Presiden.
Mungkin banyak orang tidak mengetahui bahwa pada saat Negara Kesatuan RI diproklamasikan, Keraton Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman masih merupakan wilayah yang berdaulat di luar Negara Kesatuan RI. Keraton Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman baru bergabung dengan Negara Kesatuan RI pada 30 Oktober 1945 secara sukarela.
Gangguan atas status keistimewaan Yogyakarta itu tentunya menimbulkan persoalan sendiri, terutama oleh Keraton Yogyakarta, karena dianggap mengingkari sejarah.
Mengapa DI Yogyakarta harus disamakan dengan provinsi-provinsi lain? Bukankah status istimewa itu sama dengan berbeda dengan provinsi-provinsi lain? Kalau DI Aceh diperbolehkan memiliki partai lokal, sebuah keistimewaan yang tidak dimiliki oleh provinsi-provinsi lain, mengapa Yogyakarta tidak boleh.
Kekesalan Keraton Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman itu mencapai puncaknya Kamis
Dalam amanatnya, Sultan Hamengku Buwono X, yang didampingi Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Aryo Paku Alam IX, membacakan kembali amanat yang disampaikan Sultan Hamengku Buwono IX dan Paku Alam VIII pada 30 Oktober 1945.
Isi amanat itu menegaskan bahwa Mataram (Keraton Yogyakarta) dan Kadipaten Pakualaman adalah negeri merdeka serta memiliki peraturan dan tata pemerintahan sendiri.