Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Perlu Pendekatan Baru

Kompas.com - 12/05/2012, 01:52 WIB

James Luhulima

Pada 3 Mei lalu, kita membaca berita bahwa tiga pelaku pengibaran bendera Bintang Kejora di Sentani, Jayapura, Papua, dua hari sebelumnya, ditetapkan sebagai tersangka.

Pertanyaan yang segera muncul adalah mengapa pemerintah sampai saat ini gagal memahami bahwa pengibaran bendera Bintang Kejora itu bukan benar-benar merupakan upaya makar atau ingin berpisah dari Negara Kesatuan Republik Indonesia?

Pengibaran bendera Bintang Kejora dan berbagai kegiatan yang menyertainya itu sesungguhnya merupakan bentuk protes dari warga Papua karena merasa ditinggalkan dan tidak diperlakukan secara adil.

Jika saja pemerintah memahami motif di belakang pengibaran bendera Bintang Kejora dan berbagai kegiatan yang menyertainya, dapat dipastikan suasananya akan jauh berbeda. Pendekatan keamanan bukanlah jawaban atas berbagai masalah yang terjadi di Papua.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berjanji bahwa pendekatan keamanan yang mengedepankan operasi militer sudah tidak ada lagi. Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa pendekatan keamanan masih jadi pilihan utama. Menjadikan pelaku pengibaran bendera Bintang Kejora sebagai tersangka adalah salah satu contoh.

Mengapa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tidak dapat bersikap lebih ramah terhadap Papua? Tentang pengibaran bendera Bintang Kejora, Presiden Abdurrahman Wahid mengatakan, silakan saja, asalkan jangan lebih tinggi daripada bendera Merah Putih.

Seharusnya, pelaku pengibaran bendera Bintang Kejora dan aktivitas lain yang menyertainya tidak perlu dihukum kecuali jika aktivitas itu menimbulkan keonaran dan diikuti dengan tindakan perusakan.

Mungkin baik bagi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk berkunjung ke Papua. Dengan demikian, Presiden dapat melihat sendiri keadaan di Papua dan berbincang-bincang serta mendengarkan aspirasi dari rakyat Papua.

Hadirnya perdamaian di Daerah Istimewa Aceh sekarang ini menunjukkan bahwa pendekatan kesejahteraan lebih baik daripada pendekatan keamanan yang mengedepankan operasi militer.

Banyak yang lebih penting

Kegagalan dalam memahami aspirasi masyarakat di suatu wilayah tertentu juga ditunjukkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam kasus Daerah Istimewa (DI) Yogyakarta. Presiden ingin mengubah status keistimewaan Yogyakarta yang, antara lain, menetapkan Sultan Hamengku Buwono dan Paku Alam sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DI Yogyakarta.

Atas alasan ingin menyamakan dengan provinsi-provinsi lain, Presiden mengatakan, Gubernur dan Wakil Gubernur DI Yogyakarta juga harus dipilih melalui pemilihan umum kepala daerah. Dan, disusunlah Rancangan Undang-Undang (RUU) Keistimewaan Yogyakarta.

Yang menjadi pertanyaan, mengapa Presiden ”mengganggu” sesuatu hal yang telah berlangsung dengan baik selama 67 tahun. Padahal, masih banyak persoalan penting yang mengantre untuk diselesaikan segera oleh Presiden.

Mungkin banyak orang tidak mengetahui bahwa pada saat Negara Kesatuan RI diproklamasikan, Keraton Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman masih merupakan wilayah yang berdaulat di luar Negara Kesatuan RI. Keraton Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman baru bergabung dengan Negara Kesatuan RI pada 30 Oktober 1945 secara sukarela.

Gangguan atas status keistimewaan Yogyakarta itu tentunya menimbulkan persoalan sendiri, terutama oleh Keraton Yogyakarta, karena dianggap mengingkari sejarah.

Mengapa DI Yogyakarta harus disamakan dengan provinsi-provinsi lain? Bukankah status istimewa itu sama dengan berbeda dengan provinsi-provinsi lain? Kalau DI Aceh diperbolehkan memiliki partai lokal, sebuah keistimewaan yang tidak dimiliki oleh provinsi-provinsi lain, mengapa Yogyakarta tidak boleh.

Kekesalan Keraton Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman itu mencapai puncaknya Kamis (10/5) lalu ketika Raja Keraton Yogyakarta Sultan Hamengku Buwono X menyampaikan sabda tama atau amanat di Bangsal Kencono Keraton Yogyakarta.

Dalam amanatnya, Sultan Hamengku Buwono X, yang didampingi Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Aryo Paku Alam IX, membacakan kembali amanat yang disampaikan Sultan Hamengku Buwono IX dan Paku Alam VIII pada 30 Oktober 1945.

Isi amanat itu menegaskan bahwa Mataram (Keraton Yogyakarta) dan Kadipaten Pakualaman adalah negeri merdeka serta memiliki peraturan dan tata pemerintahan sendiri.

Karena itu, Mataram termasuk bagian Nusantara dan mendukung berdirinya Negara Kesatuan RI, tetapi tetap memiliki peraturan dan tata pemerintahan sendiri.

Dalam perkembangan selanjutnya, Sultan Hamengku Buwono dan Paku Alam yang bertakhta ditetapkan sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DI Yogyakarta.

Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai sejarah. Demikian juga dengan pemimpin bangsa ini.

Jika Indonesia memang bangsa yang besar, hargailah kontrak politik yang dicapai oleh para pendiri bangsa ini dengan Sultan Hamengku Buwono IX dan Paku Alam VIII....

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com