Bengkulu, Kompas
Akibat jerat pemburu di Hutan Produksi Terbatas Air Rami, Kecamatan Puteri Hijau, Kabupaten Bengkulu Utara, jari kaki depan harimau yang diberi nama Dara harus diamputasi dua sehingga tinggal tiga. Selain membersihkan luka bekas amputasi, pada operasi kali ini dilakukan juga transplantasi kulit telapak kaki kiri. Operasi dilakukan dokter hewan dari BKSDA Bengkulu, Erni Suyanti Musabine, bersama dokter hewan dari Perancis, Norin Chai.
Setelah sekitar tiga jam mengoperasi Dara, Suyanti menuturkan, transplantasi kulit dilakukan karena kaki kiri harimau tersebut tidak bisa menapak dengan baik. Kulit
”Semula kami menduga dia sedang hamil, tetapi setelah diperiksa memakai USG ternyata hasilnya negatif,” kata Suyanti menjelaskan.
Dalam beberapa hari ke depan, Suyanti akan memantau perkembangan kesehatan Dara. Untuk sementara, Dara yang berbobot 80 kilogram itu dipelihara di kantor BKSDA Bengkulu.
Menurut Kepala BKSDA Bengkulu Amon Zamora, kemungkinan besar Dara tidak akan dilepasliarkan. Hal itu mengingat sebagian besar cakarnya sudah tidak ada. Seandainya dipaksakan dilepasliarkan dikhawatirkan Dara tidak sanggup bertahan karena kesulitan menangkap mangsa.
Amon menyatakan, ”Instruksi dari Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Kementerian Kehutanan, Dara dipelihara terlebih dulu di sini.”
Selain Dara, ada juga seekor beruang madu yang diberi nama ”Joni” saat ini dirawat di kantor BKSDA Bengkulu.
Hingga April 2012, kasus yang menimpa Dara merupakan kasus harimau sumatera kedua yang terkait dengan perburuan liar di Bengkulu. Kasus pertama terjadi 8 Januari 2012 di Hutan Lindung Bukit Daun, Desa Mangkurajo, Kecamatan Tes, Kabupaten Lebong. Seekor harimau jantan yang terkena jerat dan penuh luka bekas tombak di lokasi itu tidak terselamatkan setelah dievakuasi dan dirawat di Taman Safari, Bogor.
Amon mengatakan, tekanan terhadap 920.000 hektar kawasan hutan di Bengkulu sangat tinggi. Konflik satwa liar dengan manusia yang dalam beberapa tahun terakhir kerap muncul merupakan indikasinya.
Jika tekanan terhadap hutan, seperti perambahan dan pembalakan liar, terus dibiarkan,
kemungkinan konflik satwa liar dengan manusia terus meningkat pada waktu mendatang.