Jakarta, Kompas
”Bukan sekadar RUU Pilkada. Itu banyak sekali. Dan tidak sekadar di undang-undang, tetapi juga peraturan pemerintah ke bawah, bahkan peraturan Menteri Dalam Negeri,” kata pengajar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Zainal Arifin Mochtar, Selasa (24/4).
Pakar hukum tata negara Irmanputra Sidin juga sepandangan. UU Pilkada merupakan rezim pengaturan soal pilkada, bukan rezim untuk mencegah kejahatan seperti pembunuhan atau penggelapan. ”Bahwa sebuah sistem bisa mencegah kejahatan, itu pasti. Tetapi, harus pada kamar yang tepat untuk mencegahnya. Jangan emosional kemudian kita salah terapi,” tutur Irman.
Selama periode 2004-2012 sudah 173 kepala daerah diperiksa dengan status saksi, tersangka, dan terdakwa. Sebanyak 70 persen sudah divonis berkekuatan hukum tetap dan menjadi terpidana. Sebagian kalangan menilai, ketentuan untuk mencegah kepala daerah korup bisa dimasukkan dalam RUU Pilkada yang sudah diterima DPR.
Zainal mencontohkan, yang bisa diperbaiki aturan soal pajak dan investasi daerah untuk mencegah praktik kepala daerah menginvestasikan dana daerah ke mana-mana atau di bank. Juga aturan soal dana bantuan sosial yang berpotensi dibagi-bagi sebagai dana politik. ”Artinya tidak bergantung pada UU Pilkada semata, tetapi begitu banyak aturan soal daerah,” ujar Zainal.
”Memperbaiki republik ini tidak seperti mampir di bengkel tak profesional, yang begitu dibilang ini rusaknya, lantas diganti begitu saja,” kata Irman.