Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kartini-kartini dari Tengger...

Kompas.com - 21/04/2012, 03:22 WIB

Tubuhnya mungil, mungkin tingginya tidak lebih dari 155 sentimeter (cm). Namun sekali angkat, karung pupuk pun berpindah ke punggungnya. Dengan santai, perempuan buruh tani itu pun melangkahkan kakinya setapak demi setapak meniti lahan sawah di Desa Ngadiwono, Kecamatan Tosari, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur, Jumat (20/4).

Dengan cekatan, tangannya kemudian merogoh isi karung dan menebarkan pupuk ke sawah yang tengah digarapnya. Bahu membahu dengan lima buruh tani lain di sana. Lima dari enam buruh petani yang saat itu menggarap lahan di sana adalah perempuan.

Tidak ingin waktunya terbuang sia-sia, usai memupuk, segera berpindah ke sawah bagian lain. Perempuan berbaju merah dengan kain sarung yang dibelitkan di lehernya itu lalu mengambil cangkul. Tanpa canggung, ia pun mulai mengayunkan cangkul, membuat bedengan-bedengan di sawah yang hendak ditanami kentang.

Tangannya yang kokoh terlihat sesekali menyeka keringat di wajahnya yang bersemu merah. Warna pipi merah yang menjadi ciri khas warga Tengger karena selalu terpapar cuaca dingin.

”Rata-rata perempuan di sini adalah petani. Jadi tidak heran kalau semuanya bisa mencangkul, memupuk, atau mengerjakan tugas-tugas pertanian lain,” ujar perempuan bernama Kartini (48) tersebut.

Tetap bertani

Bagi Kartini yang sudah sejak kecil diajak orangtuanya turun ke sawah, hidupnya hanyalah untuk keluarga dan bercocok tanam. ”Semua perempuan di sini (Tengger) tetap bertani. Meskipun menjadi guru, selepas dinas juga akan tetap bekerja di sawah seperti ini,” ujarnya.

Kartini menempuh jarak 4 km dari rumahnya di Desa Ngadiwono untuk perjalanan hingga lahan sawah yang digarapnya itu. Jika tidak diantar oleh sang suami, maka ia akan berjalan kaki meniti jalan berkelok dan naik turun di pegunungan Tengger tersebut.

Kartini mulai bekerja sejak pukul 07.00 hingga pulang pukul 13.30 WIB. Sesuai waktu tersebut, Kartini dan buruh tani di sana dibayar Rp 15.000 per harinya.

Usai bekerja, Kartini masih harus merampungkan pekerjaan rumah tangga seperti memasak dan lainnya. Hebat di sawah, hebat pula di rumah. Itulah sosok Kartini Tengger.

”Ini sudah pekerjaan kami, jadi harus dikerjakan dengan baik agar mendapat hasil baik juga,” ujar Kartini.

Meskipun hanya buruh tani, namun gaya bertutur Kartini sangat lemah lembut. Ia bercerita bahwa pekerjaan yang dilakukannya adalah mulai menanam bibit, merawat, hingga memastikan tanaman sehat untuk dipanen. Giliran musim panen, maka tengkulak dengan para pekerjanya biasanya yang berperan. Bisa dibilang, Kartini adalah penyemai tanaman, sementara pengunduhnya adalah orang lain.

Sri, pemilik lahan sawah yang digarap Kartini, saat itu juga terlihat mencangkul lahannya. ”Meski pemilik lahan, saya juga harus bekerja. Kalau tidak bekerja bagaimana bisa menjadi contoh pekerja lainnya. Bagaimana pula saya bisa berharap tanaman bisa tumbuh dengan baik kalau tidak saya urus?” katanya.

Ajaran

Ketekunan perempuan-perempuan Tengger seperti Sri dan Kartini dimiliki oleh hampir keseluruhan orang Tengger. Hidup bercocok tanam bagi warga Tengger, menurut Trisno Soedigdho, tokoh masyarakat Tengger asal Tosari, sudah dianggap sebagai bagian dari budaya Tengger.

Taat pada budaya sama saja menaati sesanti panca setya Tengger. Yaitu lima ajaran hidup suku Tengger, yakni setya budaya (taat, tekun bekerja, dan mandiri), setya wacana (setia pada ucapan), setya semaya (setia pada janji), setya laksana (patuh dan taat aturan), serta setya mitra (setia kawan).

”Berpegang pada ajaran hidup itulah hingga tidak heran perempuan-perempuan Tengger dan hampir seluruh orang Tengger selalu bersungguh-sungguh bekerja termasuk dalam bertani,” tutur Trisno.

Awalnya perempuan Tengger hampir seluruhnya menjadi petani atau buruh tani. Namun seiring perkembangan zaman, pola pikir warga Tengger pun berkembang.

”Pendidikan kini sudah mulai dianggap investasi. Tidak jarang kini anak perempuan disekolahkan hingga ke luar kota demi kehidupan lebih baik. Kini warga Tengger tidak hanya menjadi petani. Warga Tengger bisa jadi apa saja sesuai kemampuannya,” ujar Trisno.

Mulai tahun 1990-an, perempuan Tengger sudah ada yang menjadi kepala sekolah. Tahun 2009 mulai ada perempuan Tengger menjadi kepala desa.

Kartini-kartini Tengger, mengabdikan diri di sawah juga di rumah. Bukan saja demi kelangsungan hidup keluarga, namun juga seluruh bangsa ini.

Dari tangan-tangan kuat kartini-kartini Tengger inilah beragam pangan bangsa ini lahir. Kini, mereka mencoba terus maju. Bukan hanya mengabdi di bidang pertanian, namun juga di bidang lainnya. Teruslah bersemangat Kartini-kartini Tengger.

(DAHLIA IRAWATY)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com