Oleh Mohammad Hilmi Faiq
Kaniruddin (37) asyik berbincang dengan rekannya di kursi depan sebuah warung, di Simeulue Timur, Simeulue, Aceh, Rabu (11/4). Tiba-tiba meja dan kursi yang dia duduki bergoyang. Awalnya, dia mengira itu efek dari kendaraan yang lewat. Namun, getaran tak juga hilang selama tiga menit.
Getaran itu ternyata gempa berkekuatan 8,5 skala Richter (SR) yang baru saja mengguncang Simeulue. Dalam sekejap ratusan orang sudah tumpah ke jalan seraya berteriak: ”Gempa! Gempa! Gempa!”
Ayah dua anak itu segera meninggalkan warung dan menjemput dua anaknya. Dengan mengendarai becak yang dikemudikan adiknya, Kaniruddin, berjalan ke Jalan Baru. Di sana rupanya telah berkumpul ratusan warga lainnya yang berusaha menyelamatkan diri.
Jumlah warga semakin berjibun tatkala muncul gempa susulan. Warga yang jumlahnya mencapai 1.000 orang itu terjebak macet di Jalan Baru. ”Tenang, air laut tidak naik. Kita jangan panik,” kata Kepala Bidang Pencegahan dan Kesiapsiagaan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Simeulue.
Kondisi serupa juga terjadi di berbagai perbukitan di delapan kecamatan di Kabupaten Simeulue. Saat digoyang gempa, sebagian besar dari 86.735 jiwa penduduk Simeulue langsung lari ke perbukitan untuk menyelamatkan diri.
Saat kejadian itu, hanya sebagian kecil warga yang tak ikut ke bukit. Mereka umumnya ke laut untuk memastikan ada tidaknya potensi tsunami. ”Saya tengok (lihat) ke laut, air sepertinya surut, tetapi hanya sekitar 10 sentimeter. Artinya, potensi tsunami kecil. Makanya, saya agak tenang waktu itu,” kata Rizal (34), warga lainnya.
Jika air surut secara signifikan, harus segera memberitahu warga lainnya dengan teriakan smong!. Itu berarti gelombang besar atau tsunami segera datang. ”Teriakan smong saat gempa kemarin (Rabu 11/4) tak ada karena tidak ada tanda-tanda tsunami,” kata Rodiyah (43), warga Sinabang. Namun, Rodiyah sempat ikut panik dan berlari ke bukit yang hanya berjarak 25 meter dari rumahnya.