Pontianak, Kompas -
Sekretaris Desa Semunying Jaya, Abulipah, yang dihubungi dari Pontianak, Senin (9/4), mengungkapkan, penghentian itu sebagai akumulasi kemarahan masyarakat. Pasalnya, sejak tahun 2004, mereka menuntut pengembalian hutan adat yang diserobot perusahaan, tapi tidak dipedulikan.
”Senin pagi, kami menghentikan upaya pembabatan hutan adat yang masih terus berlangsung. Sejak Senin pekan lalu, kami secara bertahap sudah menahan tiga ekskavator, tiga truk, tiga sepeda motor, dua mesin gergaji, satu buldoser, dan menutup perkantoran, serta pembibitan milik PT Ledo Lestari. Kami hanya menuntut pengembalian hak kami,” kata Abulipah.
Perwakilan PT Ledo Lestari, Saut Hutapea, mengaku belum tahu adanya penghentian operasional perusahaan itu di Semunying Jaya. ”Saya masih di Pekanbaru (Riau). Saya tak tahu itu,” ujar Saut.
Pada 2004, PT Ledo Lestari mendapatkan izin lokasi seluas 20.000 hektar di Kecamatan Jagoi Babang. Di dalam izin lokasi yang dimiliki perusahaan itu, 1.420 hektar di antaranya diklaim warga adat Dayak Iban sebagai milik mereka. Kepemilikan lahan dibuktikan masyarakat dengan sejumlah surat, termasuk pengesahan hutan sebagai hak ulayat masyarakat adat Dayak Iban oleh Bupati Bengkayang.
Konflik antara PT Ledo Lestari dan masyarakat Semunying Jaya mulai memanas pada 2010 saat beberapa warga termasuk Kepala Desa Semunying Jaya, Monomus, dan Kepala Badan Perwakilan Desa, Jamaludin, ditahan polisi. PT Ledo Lestari melaporkan mereka dengan tuduhan menghalangi operasional perusahaan karena menahan alat berat. Kendati warga akhirnya dibebaskan, tuntutan mereka terhadap pengembalian lahan tetap bergulir.
”Tidak ada kejelasan kapan perusahaan akan mengembalikan hutan adat kami sehingga kami terpaksa harus menghentikan operasional. Kami sudah bersabar selama bertahun-tahun dan sekarang tidak bisa menunggu lagi,” kata Abulipah.
Desa Semunying Jaya adalah kawasan perbatasan Kalbar dan Negara Bagian Sarawak, Malaysia, yang terisolasi. Masyarakat hanya punya pilihan menggunakan sampan bermesin tempel untuk menjangkau pusat perekonomian terdekat di Pasar Seluas, Bengkayang. Seluas berjarak 230 kilometer dengan waktu tempuh delapan jam berkendaraan dari Pontianak, Kota Provinsi Kalbar.
Wakil Ketua Komisi D DPRD Kalbar Syarif Ishar Assyuri mengaku, wajar jika masyarakat marah dan menghentikan operasional perusahaan. ”Kami bersama Ditjen Perkebunan Kementerian Pertanian dan sejumlah lembaga menangani kasus itu sejak 2010. Kami telah merekomendasi agar perusahaan memberi ganti rugi atau meninggalkan kawasan hutan adat, tetapi sepertinya tak dipedulikan oleh perusahaan,” kata Ishar.