Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tangkubanparahu, Gunung Kehidupan

Kompas.com - 23/03/2012, 08:41 WIB

Siang itu, Nugraha menunjukkan jejak kedahsyatan letusan Gunung Sunda purba melalui singkapan endapan awan panas setebal lebih dari 10 meter di permukiman padat di Kampung Andir, Desa Gudang Kahuripan, sekitar 7,5 kilometer dari Tangkubanparahu. ”Kaldera Sunda terbentuk akibat letusan dahsyat Gunung Sunda 105.000 tahun lalu. Letusan itu menghasilkan endapan awan panas dengan volume 66 kilometer kubik dan menutupi area lebih dari 200 kilometer persegi,” katanya.

Tangkubanparahu tumbuh dalam Kaldera Sunda 90.000 tahun lalu. Bentuk kerucut lancip gunung itu terdiri dari selingan antara endapan awan panas dan aliran lava. ”Itu menandakan adanya letusan antara eksplosif dan efusif bergantian,” katanya.

Dalam perkembangannya, Gunung Tangkubanparahu memiliki tiga kawah utama. Kawah pertama adalah Paguyangan Badak yang berumur 90.000-40.000 tahun. Aktivitas gunung kemudian berpindah dan terbentuk Kawah Upas pada 40.000-10.000 tahun lalu. Akhirnya, aktivitas berpindah ke Kawah Ratu, 10.000 tahun lalu sampai sekarang.

Tangkubanparahu meletus hebat sekitar 40.000 tahun lalu, menghasilkan aliran lava berkomposisi basal yang terutama mengalir ke arah timur laut. Aliran lava ini menutupi area seluas 189 kilometer persegi dengan kedalaman rata-rata 10 meter. Saat ini, potensi letusan Tangkubanparahu relatif kecil.

Mitos dan bentang alam

Bagi Nugraha dan para geolog lain, Tangkubanparahu merupakan obyek geologi yang sejarahnya menarik untuk dikaji, sekaligus mengetahui potensi letusannya di masa depan. Apalagi gunung ini tak jauh dari Kota Lembang dan Bandung yang padat penduduk.

Bagi masyarakat Sunda, bentang alam Tangkubanparahu telah menjadi bagian dari budaya mereka sejak lama. Ini terlihat dari dongeng tentang Sangkuriang dan terbentuknya Gunung Tangkubanparahu.

Konon, Gunung Tangkubanparahu terbentuk dari perahu yang terbalik. Sangkuriang marah karena gagal menikahi ibunya, Dayang Sumbi. Ia lantas menendang perahu yang tengah dibuatnya sebagai syarat untuk menikahi Dayang Sumbi. Telaga yang dibuat Sangkuriang untuk berlayar itu kemudian menjadi Danau Bandung.

Geolog Belanda, RW Van Bemmelen, dalam bukunya, The Geology of Indonesia (1949), mencoba mengaitkan antara dongeng Sunda dan bentang alam. Dari legenda-legenda itu, Bemmelen menduga nenek moyang orang Sunda tua menyaksikan meletusnya Gunung Sunda. Menurut Bemmelen, mengutip ahli bahasa Belanda, CC Berg, kata sunda berasal dari kata Sanskerta chudda yang berarti murni atau putih.

”Fakta geologi, selama erupsi Tangkubanparahu, area di sekitarnya tertutup lapisan abu putih setebal 40 meter. Warna putih itu kontras dengan lanskap Priangan yang hijau,” kata Bemmelen. ”Akhirnya jadi kebiasaan untuk menyebut Priangan dengan sunda, yang berarti putih. Orang Portugis dan Belanda kemudian menggunakan nama Sunda untuk menyebut kawasan barat Jawa.”

Paduan antara keindahan alam, dongeng populer, dan akses yang gampang membuat Tangkubanparahu menjadi ikon wisata Jawa Barat. Gunung ini memberi pemasukan rata-rata Rp 2,5 miliar per tahun. Legitnya potensi ekonomi ini membuat pengelolaan gunung ini pernah diperebutkan. (Indira Permanasari/Ahmad Arif)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Terkini Lainnya

    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com