Kenapa? Ini karena investasi adalah konsep kapitalis. Kalau ada keuntungan besar, pemilik ide pasti akan melakukannya untuk diri sendiri. Dalam kasus di atas, jika benar keuntungan mencapai 10 persen per bulan, semestinya pemilik ide meminjam saja dari bank. Dengan tingkat bunga 12-15 persen per tahun, pemilik ide bisa menginvestasikan kredit tersebut dengan keuntungan 120 persen per tahun. Kenapa tidak melakukan hal seperti itu? Jelas ada sesuatu di balik kegiatan pengumpulan dana masyarakat tersebut. Dengan kata lain, potensi imbal hasil 120 persen per tahun boleh jadi tidak pernah ada.
Apa maksudnya? Sederhana saja. Jika ada lembaga yang menawarkan imbal hasil investasi di luar kelaziman dan lembaga tersebut tidak transparan dalam model investasinya, termasuk ke mana dana tersebut ”diputar”, bukan tidak mungkin yang terjadi sebenarnya hanyalah
Kita tidak tahu apa yang terjadi pada koperasi dalam kasus di atas. Namun, investasi yang benar semestinya memenuhi beberapa kaidah, seperti imbal hasil yang diberikan memang masuk akal dengan kondisi perekonomian tempat investasi itu dilakukan.
Lalu, ada kejelasan bagaimana pola investasi dilakukan. Kemudian, pengelola dana investasi itu memiliki latar belakang yang relevan dan bisa dideteksi rekam jejaknya. Selain itu, lembaga investasi semestinya juga memenuhi ketentuan yang berlaku. Jika bergerak di sektor keuangan, dalam hal ini mengumpulkan dana masyarakat untuk berinvestasi, tentu harus ada izin dari otoritas keuangan.
Ringkasnya, investasi merupakan tindakan untuk memproduktifkan dana. Namun, ada kaidah-kaidah yang mesti dipenuhi, termasuk transparansi pengelolaannya, logika investasi dan kewajaran imbal hasil yang diberikan, serta kredibilitas para pengurusnya, termasuk izin yang dimiliki lembaga tersebut.
Jika kaidah dasar seperti itu tidak bisa dipenuhi, calon investor harus curiga dan perlu mempertimbangkan rencana menempatkan dana di sebuah lembaga yang mengaku bergerak di bidang investasi.