Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Berharmoni dengan Gunung Api

Kompas.com - 13/01/2012, 20:04 WIB

Sutirtayasa mengakui, seandainya terjadi letusan Agung, evakuasi paling sulit akan terjadi di Desa Ban, Kecamatan Kubu. ”Untuk wilayah itu, jalur evakuasi memang belum terang. Wilayah lain relatif lebih baik,” ungkapnya.

Ingatan

Bagi Cok Sawitri, pendekatan mitigasi di Gunung Agung yang bertumpu pada fisik tidak akan menjawab permasalahan. Masyarakat Bali yang tinggal di lereng gunung memiliki konsepsi dan cara pandang sendiri, yang selama ini tidak dipahami pemangku kekuasaan.

”Orang-orang gunung akan bicara dengan bahasa kepercayaan,” ujarnya.”Sebenarnya apa yang dialami orang gunung itu sangat logis dan rasional. Hanya saja, pilihan kata dan bahasa yang tidak nyambung dengan ilmu modern yang mendasarkan pada penelitian.”

Sawitri yakin, orang-orang gunung ini juga mampu membaca tanda-tanda alam. ”Cara pandang tidak beda, hanya cara tuturnya yang berbeda. Mereka juga takut sama gunung meletus, tetapi rasa takut itu dimanifestasikan, misalnya, dengan menyebut gunung sebagai bapak yang sedang batuk-batuk,” katanya.

Proses pengalaman orang gunung ini, menurut Sawitri, sering dibahasakan dengan cara yang berbeda. ”Mereka juga berdasarkan pengalamannya memikirkan bagaimana cara menghindari, kapan harus menghindari,” katanya.

Namun, menurut Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi Surono, pengetahuan itu juga harus terus diasah dan diperbarui. ”Masyarakat biasanya membaca tanda-tanda alam menggunakan feeling atau ilmu titen (kebiasaan) dalam bahasa Jawa,” katanya.

Ilmu titen ini biasanya didasarkan pada kebiasaan dan perilaku gunung api yang pernah dialami masyarakat. Padahal, ingatan manusia sangat pendek, sedangkan periodisasi letusan gunung api sangat panjang. Selain itu, karakter dan sifat gunung api juga bisa berubah-ubah.

Surono mengingatkan, beberapa indikator alam yang kasatmata, seperti binatang-binatang yang turun dari gunung menjelang letusan, juga sudah sulit jadi ukuran. ”Sekarang binatang diburu dan jarang sekali ada di gunung, jadi indikatornya sudah berubah,” ujarnya.

Karena itu, lanjut Surono, ilmu bumi yang kuat dan didasarkan pada penelitian serius serta penyediaan alat-alat pemantauan yang kuat mutlak diperlukan untuk memperbaiki kemampuan mitigasi.

Budaya tanggap bencana

Halaman:
Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Terkini Lainnya

    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com