Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Jejak Megalitikum di Bali

Kompas.com - 05/01/2012, 21:30 WIB
Ketua Tim Penulis: Ahmad Arif
Tim Penulis: Indira Permanasari, Agung Setyahadi, Agustinus Handoko, Cornelius Helmy Herlambang


DI BALI
, gunung api memang bukan hanya soal geologi dan geofisika. Ada budaya yang berimpit di sana. Letusan gunung api dipercaya terkait dengan ulah manusia. Karena itu, masyarakat selalu berupaya menjalin harmoni dengan ”penguasa” gunung. Kepercayaan ini sudah tertanam pada masa raja-raja Bali.

Kegagalan dan kesuksesan raja-raja Bali pada masa lalu selalu dikaitkan dengan bagaimana mereka menjalin hubungan dengan penguasa gunung, utamanya Gunung Agung. Konsep ini, menurut David J Stuart-Fox (2010), semakin menguat pasca-penguasaan Majapahit ke Bali pada 1343. ”Dalam kepercayaan Majapahit-Jawa, gunung sebagai lokus dewata memainkan peranan penting,” tulis David.

Babad Dalem, catatan dari dinasti raja-raja di Gelgel yang ditulis sekitar abad ke-18, mengisahkan, kesuksesan Dalem Ketut Ngulesir memerintah tak lepas dari hubungannya dengan Hyang Tolangkir (Penguasa Gunung Agung). Teks tersebut mengungkapkan, ”Selama pemerintah Dalem (Ketut Ngulesir) di Gelgel yang sangat lama, suasana yang damai menyelimuti negara, seolah-olah Hyang Tolangkir telah memanisfestasikan dirinya....”

Jejak kepercayaan terhadap gunung itu masih terlihat hingga kini. Hampir semua aspek kehidupan masyarakat Bali berpusat pada gunung. Orientasi arah dalam masyarakat Bali, yakni kaja dan kelod, menempatkan gunung sebagai sesuatu yang adiluhur. Antropolog I Wayan Suwena dalam tulisannya, Makna Orientasi Arah di Bali, 2003, menyebutkan, kata kaja berasal dari kata ka-adi-a yang berarti ’arah yang adi, tinggi, atau luhur’. Sebaliknya, arah kelod diidentikkan dengan arah laut.

Menurut kepercayaan orang Hindu Bali, gunung menjadi tempat bersemayamnya Sang Hyang Siwa (sebutan lain Ida Sang Hyang Widi Wasa). Posisi laut dipertentangkan dengan gunung. Hal-hal yang tidak berguna dalam kehidupan biasanya dibuang ke laut. Implikasinya, bangunan atau ruang-ruang yang dimuliakan berorientasi ke kaja.

Arsitek dari Universitas Udayana, Ngakan Ketut Acwin Dwijendra, dalam Arsitektur Bangunan Suci Hindu, 2008, menyebutkan, gunung sebagai pelambang keluhuran itu terlihat dalam bentuk bangunan suci meru. Menurut mitologi, meru merupakan nama sebuah gunung di Sorgaloka tempat bersemayamnya Bhatara Siwa. Gunung itu lalu diturunkan ke dunia menjadi Himalaya di India, Mahameru di Jawa, dan Agung di Bali.

Dalam lontar Andha Bhunana disebutkan, meru berasal dari kata me yang berarti ’meme atau ibu’, sedangkan ru berarti ’guru atau bapak’ sehingga meru memiliki arti ’cikal bakal leluhur’. Meru berarti lambang atau simbol andha bhunana atau alam semesta. ”Tingkatan atapnya merupakan simbol tingkatan lapisan alam, yaitu bhunana agung (makrokosmos) dan bhunana alit (mikrokosmos),” tulis Dwijendra.

Meru yang mempunyai makna simbolis dari gunung juga diuraikan dalam lontar Tantu Pagelaran, Kekawin Dharma Sunia, dan Usana Bali. Dalam hal ini, meru sebagai Dewa Pratista, yaitu berfungsi sebagai tempat pemujaan atau pelinggih dewa. Oleh karena itu, meru secara tata letak berada pada tempat pemujaan di halaman utama (jeroan) dari suatu pura.

Hampir semua pura besar di Bali, seperti Pura Besakih dan Pura Batur, memiliki bangunan meru dengan ciri atap bertingkat-tingkat menyerupai gunung. Bentuk meru, menurut Dwijendra, juga terlihat pada upacara-upacara ngaben sebagai wadah mayat pada upacara pitra yadnya.

Bahkan, jejak-jejak gunung sebagai tempat suci yang ditandai dengan adanya bangunan suci dipercaya telah ada di Bali sejak era prasejarah. Arkeolog dari Balai Arkeologi Denpasar, Ngurah Suarbhawa, mengatakan, ritual pemujaan mulai berkembang pada zaman megalitik (batu besar). Gunung dipandang sebagai tempat yang suci dan pemberi kesuburan.

Peneliti Balai Arkeologi Denpasar, I Made Geria, juga menduga, arca Bathara Datonta di kaldera Gunung Batur berciri megalitik. ”Sampai sekarang, masyarakat Trunyan memiliki orientasi spiritual kepada Datonta ini,” kata Geria. Di Pura Ratu Gede Pancering Jagat di Trunyan pula terdapat batu berdiri.

Arca Datonta merupakan perwujudan dewa tertinggi Trunyan, Ratu Sakti Pancering Jagat. Arca raksasa ini terbuat dari batu padas setinggi 4 meter. Masyarakat Trunyan percaya, cikal bakal mereka adalah para leluhur yang akhirnya bersatu dengan arca Datonta. ”Di samping sebagai arca megalitik, arca Datonta itu juga dipercaya oleh masyarakat Trunyan sebagai pendewaan leluhur mereka,” kata Geria.

Pura Puncak Penulisan

Di kompleks Pura Puncak Penulisan, pura tertinggi di Bali, juga terdapat sejumlah artefak batu yang, menurut Thomas A Reuter (2002), dibuat sebelum datangnya pengaruh Hindu-India ke Bali.

Batu berdiri yang terbuka menghadap langit di Pura Batu Madeg (kompleks Besakih) dianggap memiliki ciri-ciri megalitik. Hasil kebudayaan zaman megalitikum antara lain bangunan terdiri dari batu besar, seperti tiang batu berdiri, susunan batu, dan arca batu. Arca-arca peninggalan zaman itu juga tidak dikerjakan secara detail, sekadar mendapatkan bentuk yang diperlukan.

David J Stuart-Fox (2002) mengungkapkan, batu berdiri yang menjadi nama Pura Batu Madeg ini sekarang dikelilingi bangunan suci paling penting, meru beratap 11 yang didedikasikan untuk I Dewa Batu Madeg yang diidentifikasikan dengan Bhatara Wisnu.

”Ciri megalitik dari salah satu bangunan suci ini menunjukkan keberadaan sebuah tempat suci kuno yang mungkin sudah ada sebelum pengaruh Majapahit (ke Bali),” tulis Stuart-Fox.

Ciri megalitik ini, menurut Stuart-Fox, juga ada di Pura Kiduling Kreteg di Besakih dalam bentuk bangunan bebaturan. Kedua bangunan ini semula merupakan bangunan suci megalitik kecil. Puncaknya yang terbuat dari batu masih tetap digunakan setelah pembangunan kembali. Bangunan tersebut didedikasikan untuk sedahan atau pembantu-pembantu para dewa.

Selain di sekitar Gunung Batur, sebaran tempat pemujaan megalitik di gunung itu banyak ditemukan di Gunung Agung. Gunung tertinggi Bali ini semakin mendapat tempat dalam ritus pemujaan sejak kedatangan Majapahit ke Bali. Kini, sekitar 1.000 pura dibangun mengelilingi gunung ini, dan Pura Besakih menjadi yang terbesar. Hampir semua klan di Bali memiliki pura klan di kaki gunung itu.

Dari gerbang Pura Besakih, kami memulai pendakian ke Gunung Agung pada 30 September 2011. Sepanjang perjalanan, kabut menyelimuti hutan lebat di lereng Gunung Agung. Gerimis yang sesekali turun menambah suasana magis gunung itu. Semalam menginap di salah satu ceruk gunung ini, kami memulai perjalanan menuju puncaknya pada pukul 03.00.

Menapak tebing batu terjal yang masih memperlihatkan aliran lava, kami sampai di puncak tertinggi di Pulau Dewata ini pukul 05.00. Semburat sinar mentari mencipta warna jingga di ufuk timur. Menyembul di balik balik awan jingga itu sebuah puncak lain yang terlihat menjulang lebih tinggi: Rinjani.

Ikuti perkembangan Ekpedisi Cincin Api di: www.cincinapi.com atau melalui facebook: ekspedisikompas atau twitter: @ekspedisikompas

 

Lihat Ekspedisi Cincin Api - Agung Batur di peta yang lebih besar

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Terkini Lainnya

    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com