Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Lahan Keluarga untuk Lingkungan

Kompas.com - 04/01/2012, 02:38 WIB

Tahun 1999 dia memutuskan pulang kampung, meninggalkan kenyamanan hidup di Kota Medan yang berlimpah uang dan kawan. Dia pun menulis besar-besar kalimat penyemangat di kamar kosnya, ”Meninggalkan rupiah di kota untuk menuai dollar di desa.”

Begitu pulang kampung, ibunda Marandus, Tyasa Sitorus (70), menangis. Dalam masyarakat Batak ada anggapan, jika pemuda merantau dan kembali ke kampung, berarti dia gagal menaklukkan kota dan stres. Itu pula anggapan Tyasa, saudara-saudara Marandus, dan tetangga.

Apalagi, sehari-hari Marandus hanya menghabiskan waktunya di lahan keluarga seluas 40 hektar di perbukitan yang lama tak terawat karena tidak produktif. Di situ hanya pohon pinus tua yang ditanam ayahnya di sebagian lahan. Tak tahan dengan sikap keluarga, Marandus memilih tinggal di bekas kandang kerbau di tengah lahan itu.

Marandus kemudian menyurvei kondisi lahan. Oleh karena tidak memahami alam, ia mengajak beberapa pencinta alam menyusuri lahan keluarga yang berdampingan dengan hutan lindung pemerintah itu. Rupanya aktivitas ini membuat Michael Sirait, salah satu adik Marandus, tertarik membantu. Dari survei itu, mereka menjadikan goa kelelawar dan air terjun sebagai potensi yang bisa menarik pengunjung.

Lelaki yang tak lulus SMA ini mulai belajar tentang bercocok tanam dari berbagai bacaan dan berguru ke Berastagi, Karo, sentra sayuran di Sumatera Utara. Dia pun menjual berbagai peralatan musiknya, seperti gitar, keyboard, dan seperangkat drum, untuk membeli bibit dan membayar pekerja membersihkan lahan.

Tahun 2002 Marandus hampir menyerah. Semua uang ludes, tetapi hutan yang dia bangun belum menghasilkan. Jangankan untuk menutupi biaya operasional, untuk pembibitan saja tak cukup. Dia kembali ke Medan mengajar musik. Tetapi, tiga bulan kemudian dia kembali ke kampung karena tidak menemukan ketenangan batin di kota. ”Hidup mati saya di kampung,” tekadnya.

Dia kembali berjibaku menyejahterakan hutan dengan sumber daya sangat terbatas. Akhir 2004 Marandus masuk rumah sakit. Dia kekurangan gizi. Setelah sembuh, ganti terserang tipus, kemudian mag. Dokter mengatakan, sumber penyakitnya adalah stres yang bersumber dari hutan. Untuk itu, dia harus menjauh dari hutan.

Setelah tiga bulan keluar masuk rumah sakit, Marandus kembali ke Medan. Di sana dia bertemu dengan kenalan lama yang juga dokter di Rumah Sakit Deli. ”Dia meminta saya main ke rumahnya dan bermain musik di sana,” kenangnya.

Hari-hari dia isi dengan bermain musik dan mengikuti berbagai penghiburan di gereja ataupun rumah warga. Pada pertengahan 2005, saat merasa kondisi mentalnya membaik, Marandus mendapat kabar gembira. Hasil kerja kerasnya diganjar penghargaan Kalpataru. Ini membuat semangat Marandus kembali memuncak.

Dia sempat berpikir semua rencananya lancar setelah Kalpataru di tangan. Rupanya tidak. Tetap saja dia kesulitan dana untuk mengembangkan hutannya.

Sempat dia melelang piala Kalpataru itu ke DPRD Toba Samosir. ”Bagi saya, lebih baik Bapak tukar piala ini dengan sekarung polybag daripada saya pajang di rumah tetapi tak bermanfaat bagi lingkungan,” kata Marandus kepada para anggota DPRD Toba Samosir kala itu. Dia bermaksud menggugah kesadaran para wakil rakyat dan pemerintah agar lebih peduli pada pelestarian lingkungan.

Para wakil rakyat itu meminta Marandus membuat proposal permohonan bantuan dana. Tetapi, sampai mereka lengser, tak pernah ada jawaban atas proposal itu. Sampai sekarang, Marandus tak pernah bersedia membuat proposal untuk siapa pun. Ia mengandalkan kerja keras dan kedermawanan pengunjung Taman Eden untuk menutupi biaya operasional.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com