Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Konsumsi Beras Tinggi

Kompas.com - 30/12/2011, 05:32 WIB

Jakarta, Kompas - Konsumsi karbohidrat remaja dan dewasa muda kelas menengah Indonesia tinggi melebihi kebutuhan rata-rata. Kondisi ini bertentangan dengan anggapan selama ini, makin baik kondisi ekonomi, konsumsi karbohidrat akan turun dan diganti konsumsi protein dan lemak.

”Kondisi ini agak mengagetkan. Konsumsi karbohidrat berlebih juga terjadi pada anak-anak kelas menengah atas di Jakarta,” kata Koordinator Perkumpulan Indonesia Berseru Tejo Wahyu Jatmiko di Jakarta, Kamis (29/12).

Survei pangan terhadap 216 responden dan pencatatan jenis makanan 98 responden dari usia sekolah menengah pertama (SMP) hingga dewasa muda yang bekerja di beberapa kota besar di Jawa menunjukkan, konsumsi karbohidrat rata-rata dalam satu minggu melebihi kebutuhan. Konsumsi karbohidrat tertinggi terdapat pada anak sekolah menengah atas sebesar 110 persen.

Salah satu penyebab adalah kecenderungan masyarakat untuk mengonsumsi karbohidrat lebih dari satu jenis, seperti makan nasi dengan lauk mi. Selain itu, banyak responden, khususnya kelompok usia SMP, menganggap roti sebagai camilan di antara waktu makan utama.

”Konsumsi karbohidrat berlebih membuat anak muda rentan kelebihan berat badan,” katanya.

Pola konsumsi anak muda kelompok menengah masih menjadikan beras sebagai bahan pangan utama. Responden yang mengonsumsi beras saat sarapan mencapai 60 persen, makan siang 73 persen, dan makan malam 69 persen.

Riset Kesehatan Dasar 2010 menunjukkan, prevalensi gemuk pada anak usia 13-15 tahun mencapai 2,5 persen dan anak umur 16-18 tahun 1,4 persen. Kegemukan pada remaja jauh lebih rendah dibandingkan kegemukan pada anak umur 6-12 tahun yang mencapai 9,2 persen.

Namun, prevalensi kelebihan berat badan pada orang berumur lebih dari 18 tahun mencapai 10 persen, yang mengalami obesitas sebanyak 11,7 persen. Kasus obesitas lebih banyak terjadi pada perempuan, warga perkotaan, berpendidikan lebih tinggi, serta dari kelompok ekonomi tinggi.

Pangan impor

Keragaman pangan orang muda Indonesia sangat rendah. Sumber protein yang paling banyak dikonsumsi adalah daging unggas dan daging merah. Konsumsi ikan sangat terbatas.

Jumlah sayur dan buah yang dikonsumsi juga rendah. Jenis sayur dan buah yang dikonsumsi sangat terbatas. Padahal, Indonesia memiliki ratusan jenis sayur dan buah.

Manajer Program Perkumpulan Indonesia Berseru Ida Ronauli menambahkan, makanan kelompok menengah lebih banyak berasal dari produk impor, kurang mengonsumsi pangan lokal. Penampilan produk makanan impor memang lebih menarik daripada produk lokal.

Kondisi itu diperparah dengan gencarnya iklan makanan siap saji di berbagai media.

”Informasi pola makan sehat tak sampai ke kelompok menengah. Padahal, mereka kelompok melek informasi dengan akses internet tinggi,” ujar Ida.

Jika pola konsumsi pangan kelompok menengah tidak segera dibenahi, bukan hanya berbagai ancaman penyakit yang mengintai manusia Indonesia, kedaulatan pangan juga terancam karena kebergantungan pada produk pangan impor makin besar.

Menurut Tejo, butuh pembelaan kuat dari negara agar produk- produk pertanian lokal bisa bersaing dengan produk impor.

”Pangan adalah kunci. Negara yang tidak punya bedil, tapi punya pangan, masih bisa berperang. Sebaliknya, negara yang tak punya pangan, walau punya bedil, dia tidak bisa berperang,” kata Tejo. (MZW)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com