Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Perang Upah Buruh

Kompas.com - 24/11/2011, 02:19 WIB

Peran negara

Kalau pada era Orde Baru yang otoriter negara menerapkan strategi upah murah untuk menarik investasi dan menggunakan upah minimum sebagai alat untuk mengontrol gejolak buruh, pada era reformasi, negara yang telah jauh melemah cenderung lebih bersifat mendua.

Di satu sisi negara ingin terus memegang kontrol terhadap penetapan upah minimum dan, oleh karena itu, bisa terus mempertahankan kontrol terhadap buruh. Di sisi lain negara ragu-ragu melepaskan sepenuhnya perundingan upah terhadap mekanisme perundingan kolektif yang mensyaratkan perlindungan yang jelas dan fasilitasi yang nyata untuk pembangunan serikat buruh yang kuat sebagai aktor penting dalam perundingan kolektif bersama dengan organisasi pengusaha.

Banyak kasus pelanggaran hak berserikat terjadi tanpa hukuman dan posisi serikat buruh pun terus dibiarkan lemah di hadapan pengusaha tanpa proteksi negara. Serikat buruh memang sudah diakui keberadaannya oleh negara melalui pengesahan UU Serikat Pekerja/Serikat Buruh Tahun 2000 atau ratifikasi Konvensi ILO Nomor 87 dan 98 tentang Kebebasan Berorganisasi dan Berunding Bersama. Namun, serikat buruh tampaknya masih belum juga diakui oleh pengusaha.

Desentralisasi penetapan upah minimum di berbagai daerah (Dewan Pengupahan menjadi pusat dari prosesnya) juga menghasilkan wajah ganda yang menciptakan tantangan lain untuk pengembangan penetapan upah minimum sebagai satu alat kebijakan sosial dan tolok ukur untuk perundingan kolektif.

Persaingan antardaerah dan perbedaan terkait dinamika politik di daerah menghasilkan upah minimum ataupun kebijakan upah yang saling tidak konsisten dan sering kali bertolak belakang antara satu daerah dan daerah lainnya, antara satu sektor dan sektor lainnya.

Penghapusan upah minimum Provinsi Jawa Barat pada tahun 2010, misalnya, membuat buruh di Kabupaten Sukabumi tak memiliki cantolan hukum untuk mendapatkan upah yang lebih baik dari upah minimum kabupaten yang praktis masih jauh di bawah upah minimum provinsi.

Kesenjangan upah antardaerah yang begitu besar juga menciptakan fenomena race to the bottom ketika perusahaan berlomba untuk relokasi ke daerah yang memiliki upah minimum lebih rendah. Hal ini mendorong keresahan buruh yang kian meningkat di berbagai daerah, baik yang ditinggalkan maupun yang didatangi.

Semua ini tak bisa tidak membutuhkan peran dan campur tangan negara, khususnya Jakarta, untuk mengatasinya. Campur tangan negara ini tak harus berlebihan untuk memberi peluang perundingan kolektif terlaksana, khususnya di tingkat perusahaan atau sektor industri, tetapi juga tak boleh kekurangan sebab menciptakan ketidakpastian.

Tanpa posisi dan sikap tegas negara dan pemerintah mendukung keberadaan serikat buruh dan melindungi keterlibatan mereka dalam perundingan kolektif, termasuk juga dalam soal upah, dan juga tanpa keinginan dan niat baik pengusaha mulai mau bekerja sama secara nyata dengan serikat buruh sebagai mitra sosialnya, penetapan upah minimum di daerah tampaknya akan terus jadi sumber konflik daripada kesepakatan.

Surya Tjandra Dosen Universitas Atma Jaya, Jakarta; sedang Mendalami Studi Sosiolegal di Institut Van Vollenhoven, Universitas Leiden

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com