Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kontroversi Moratorium Remisi

Kompas.com - 12/11/2011, 01:44 WIB

Eddy OS Hiariej

Belum genap dua minggu bertugas sebagai Menteri dan Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Amir Syamsuddin dan Denny Indrayana menuai kontroversi. Ini terkait kebijakan moratorium—belakangan disebutkan sebagai pengetatan—remisi dan pembebasan bersyarat narapidana kasus korupsi.

Mereka yang pro terhadap kebijakan tersebut memandang bahwa korupsi adalah kejahatan luar biasa. Oleh karena itu, harus ada perlakuan yang berbeda dengan narapidana kasus lain. Sementara yang kontra berpendapat bahwa moratorium remisi dan pembebasan bersyarat terhadap terpidana kasus korupsi melanggar hak asasi manusia.

Lebih lanjut mereka yang pro memandang bahwa pemidanaan semata-mata ditujukan untuk pembalasan sesuai dengan berat–ringannya perbuatan yang dilakukan. Ini merupakan ciri utama aliran klasik dalam hukum pidana, yang sejak kelahirannya telah menimbulkan kritik.

Bahkan Jeremy Bentham, salah satu tokoh aliran klasik, mengemukakan bahwa pemidanaan tidak boleh ditujukan hanya untuk pembalasan. Yang terpenting adalah bermanfaat bagi perbaikan diri pelaku kejahatan.

Mereka yang kontra berpegang pada teori relatif dalam hukum pidana bahwa pemidanaan, selain ditujukan sebagai pencegahan umum terjadinya kejahatan, juga bertujuan untuk memperbaiki pelaku kejahatan. Oleh karena itu, seorang narapidana, tanpa membeda-bedakan kasusnya, berhak atas remisi dan pembebasan bersyarat selama yang bersangkutan berkelakuan baik dalam menjalani hukuman.

Empat catatan

Terhadap kebijakan pengetatan remisi dan pembebasan bersyarat narapidana korupsi ini, paling tidak ada empat catatan.

Pertama, kebijakan itu memperlihatkan sikap apriori terhadap hukum pidana yang berorientasi pada filsafat keadilan retributif. Orientasi yang demikian membawa Pemerintah Indonesia dalam posisi berhadap-hadapan dengan berbagai instrumen internasional, baik yang berkaitan dengan hak asasi manusia maupun antikorupsi yang telah kita ratifikasi.

Konvensi internasional mengenai hak-hak sipil dan hak-hak politik, demikian pula dengan konvensi PBB mengenai antikorupsi secara implisit tidak lagi merujuk pada keadilan retributif dalam hukum pidana, tetapi mengalami perubahan paradigma baru, yaitu keadilan korektif, rehabilitatif, dan restoratif.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com