Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mengawal UU Jaminan Sosial

Kompas.com - 08/11/2011, 02:32 WIB

Imam Cahyono

" Everyone, as a member of a society, has the right to social security." (Article 22, Universal Declaration of Human Rights, 1948)

Jumat petang, 28 Oktober 2011, ribuan demonstran—sebagian besar dari kalangan buruh—bertahan di depan gedung DPR. Senayan mencekam. Ruas jalan diblokir, membuat kemacetan panjang. Ribuan polisi disiagakan. Kendati diguyur hujan sejak siang, tekad para demonstran tidak surut. Mereka menuntut Rancangan Undang-Undang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial disahkan!

Tatkala Sidang Paripurna DPR resmi mengetok palu UU BPJS, terpancar rasa haru mendalam. Tak ada rusuh. Tak anarkistis. Tujuh tahun bukan waktu singkat untuk berjuang, menuntut jaminan sosial bagi seluruh rakyat seperti diamanatkan UUD 1945 dan UU Sistem Jaminan Sosial Nasional 2004. Tujuh tahun mereka menanti perubahan kebijakan rezim penguasa. Itu pun baru sebatas perundangan. Implementasi masih harus sabar menanti beberapa tahun ke depan.

Setengah hati

Ibarat kepala dilepas, tetapi ekor masih dipegang. Jika mengikuti proses dari awal hingga BPJS diundangkan, banyak hal tak lazim terjadi. Kendati konstitusi mengamanatkan seluruh rakyat berhak mendapatkan jaminan sosial, negara enggan memberikan. Pemerintah yang diwakili delapan kementerian merasa keberatan, setengah hati dengan berbagai alasan.

Ini terjadi karena posisinya yang strategis dan banyak pihak ”berkepentingan” bisa terganggu dengan keberadaan BPJS. Keempat BUMN, yakni Asabri, Askes, Jamsostek, dan Taspen, tak rela jika putaran uang dan aset yang sekitar Rp 200 triliun dikelola badan publik bersifat nirlaba. Rezim penguasa melalui pemerintah tak mau kehilangan kontrol atas BUMN basah dengan kue manisnya. Pengusaha pun tak mau merogoh kantong.

Alhasil, pembahasan persidangan di Senayan alot. Pemerintah sering mangkir, mengulur waktu, dan berusaha mempersulit. Fraksi-fraksi di DPR pun bersikap oportunistis menarik ulur benang BPJS sesuka hati. Tenggat yang sudah ditetapkan tak terpenuhi sehingga harus mundur dengan perpanjangan waktu. UU BPJS mestinya disahkan dalam Rapat Paripurna DPR, 22 Juli 2011, tetapi terkatung-katung hingga masa sidang berikutnya. Perombakan kabinet kian memperpanjang jadwal pembahasan.

Hampir mustahil proses politik di Senayan berjalan tanpa nuansa kepentingan sempit dan transaksional. Begitu desakan warga tak lagi terbendung, tuntutan tersebut akhirnya dipenuhi meski setengah hati. Lagi-lagi, pemenuhan itu lebih sebagai kompromi ketimbang kesungguhan menjalankan amanat konstitusi. Setelah BPJS resmi diundangkan, persoalan tak kunjung padam. Ketaklaziman terus berlanjut. Sejumlah wakil rakyat yang ikut mengesahkan justru balik arah menggugat BPJS yang dianggap cacat prosedur, cacat waktu, dan cacat teknis administratif lainnya. Hal-hal yang sifatnya teknis administratif yang bisa dikerjakan dalam waktu singkat sengaja dibiarkan berlarut-larut.

Padahal, pengesahan BPJS merupakan keputusan politik yang disepakati rapat paripurna. Secara substansi, pemerintah dan semua fraksi setuju karena isinya untuk kepentingan rakyat banyak serta ada waktu 30 hari untuk sinkronisasi dan perbaikan. Jika kemudian ada kendala teknis administratif, lantas BPJS harus dibatalkan demi hukum? Kalaupun BPJS dianggap cacat prosedural, apakah lebih berbahaya dibandingkan pemerintah SBY yang selama tujuh tahun sengaja melanggar konstitusi tetapi dibiarkan melenggang?

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com