Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tenun Ikat, Tidak Sebatas Tradisi

Kompas.com - 31/10/2011, 03:26 WIB

A Ponco Anggoro

Ratusan tahun lamanya kain tenun ikat menjadi bagian penting dari peradaban masyarakat Maluku Tenggara Barat di Provinsi Maluku. Hingga kini, posisi itu tidak berubah. Kain tenun tetap menjadi salah satu penopang kesejahteraan masyarakat di kabupaten yang wilayah perairannya berbatasan langsung dengan Australia dan Timor Leste tersebut. 

Turun-temurun, keahlian membuat kain tenun ikat diwariskan dan dilestarikan. Perajin kain tenun tersebar di seluruh (10) kecamatan di Maluku Tenggara Barat (MTB), sekitar 126 kelompok dengan tenaga kerja mencapai 1.046 orang.

Salah satunya, Maya Fordatkosu (32). Di tempat tinggalnya di Kelurahan Saumlaki, Kecamatan Tanimbar Selatan, setiap hari Maya mengolah benang-benang menjadi kain tenun ikat dengan beragam motif. Mulai dari memintal benang, membuat motif dengan mengikat tali rafia pada benang sebelum mencelupkannya pada pewarna, hingga akhirnya menenun benang menjadi kain.

Dengan menggunakan alat tradisional, semua proses itu dilakukan. Dalam waktu dua hari, satu potong kain ukuran 1,5 meter persegi, sudah tuntas dibuat.

Maya mempelajari cara-cara membuat kain tenun ikat dari ibunya, Wasti Fordatkosu (50). Setiap hari, saat usia Maya masih belia, dia melihat dan mencoba apa yang dilakukan ibunya, dan juga tetangga mereka yang membuat kain tenun. Di usia masih 20 tahun, Maya sudah bisa menenun kain sendiri. Saat ini, hal serupa dipraktikkan oleh anak-anak Maya.

Jadilah dari generasi ke generasi, keluarga Maya membuat kain tenun. Tidak sebatas tradisi untuk melestarikan budaya yang telah diwariskan nenek moyang masyarakat MTB, tetapi karena kain tenun menjadi tumpuan hidup sehari-hari.

”Dari hasil jualan kain tenun, saya bisa melanjutkan kuliah, anak-anak bisa sekolah, kebutuhan sehari-hari juga tercukupi,” kata Maya yang kuliah di Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan Karta Bridge di Saumlaki, ibu kota Kabupaten MTB.

Harga kain yang dijual berkisar Rp 250.000-Rp 600.000 per lembar bergantung pada motifnya. Sementara biaya produksi dari setiap kain hanya Rp 105.000.

Dari kain tenun ikat itu pula Dorteis Temartenan (50), perajin tenun lainnya di Saumlaki, bisa membiayai kuliah ketiga anaknya. Dua dari tiga anaknya kuliah pada perguruan tinggi di Ambon, Maluku, sedangkan satu lagi kuliah di Timor Leste.

”Dalam satu bulan, kami bisa membuat sekitar enam potong kain dan dalam waktu tidak terlalu lama, seluruh kain bisa terjual karena selalu ada yang membutuhkannya,” ujarnya.

Kain-kain tenun hasil perajin ini mayoritas dijual di MTB karena masih banyak masyarakat menggunakannya. Kain tenun masih sering digunakan sebagai busana saat acara pernikahan, baik dalam bentuk pakaian atau jas, acara-acara adat, atau bahkan pakaian sehari-hari. Kain tenun juga menjadi cendera mata khas MTB.

Meski begitu, tak sedikit pesanan kain tenun datang dari luar. Terakhir, 106 potong kain tenun dipesan untuk dikirimkan ke Ambon guna diberikan sebagai cendera mata saat Ambon Jazz Plus Festival 2011, awal Oktober lalu.

Berubahnya kain tenun menjadi barang komersial yang juga penting untuk memenuhi kebutuhan hidup ini memungkinkan, setelah benang dan zat pewarna mulai dikenal perajin, sekitar tahun 1980. Saat ini, benang dan zat pewarna itu dipasok dari Surabaya. Sebelumnya, membuat kain tenun membutuhkan waktu lama karena bergantung pada bahan-bahan alami.

Sila Fordatkosu (40), perajin kain tenun lainnya, mengatakan, dulu butuh waktu minimal satu tahun untuk membuat kain tenun dari bahan alami. Perajin harus terlebih dulu menanam kapas. Setelah panen, kapas dipintal menjadi benang. Adapun pewarnanya berasal dari daun dan akar kayu tetumbuhan yang dicelupkan ke air.

”Saat ini tidak banyak lagi yang membuatnya, sehingga kain tenun dari kapas sudah susah ditemukan. Kalaupun ada, harganya mahal, lebih dari satu juta rupiah per potong,” tuturnya.

Melihat besarnya dampak dari kerajinan kain tenun bagi kesejahteraan masyarakat, sejumlah cara pun ditempuh Pemerintah Kabupaten MTB untuk memberdayakan masyarakat.

Tahun 2002, Dinas Perindustrian, Perdagangan, dan Koperasi MTB membangun bengkel kerja sebagai tempat berlatih dan berbagi pengalaman antarperajin agar bisa meningkatkan kualitas kain tenun yang dibuat. Di bengkel ini, perajin berlatih membuat beragam produk lain yang berbahan dasar kain tenun, seperti dompet, tempat tisu, dan tas.

”Di bengkel, perajin bisa belajar banyak,” ujar Ida Refualu (30), perajin kain tenun yang rutin datang ke bengkel dan kini bisa memproduksi barang lain berbahan kain tenun, seperti dompet dan tas, di samping tetap membuat kain tenun.

Selain itu, tahun 2007, pemerintah membeli alat-alat tenun yang biasa digunakan oleh perajin tenun di Jepara, Jawa Tengah, dan menjadikannya salah satu peralatan di bengkel.

Dalam waktu satu bulan, alat ini mampu memproduksi kain tenun dengan ukuran 250 x 120 meter yang bisa dimanfaatkan menjadi 75 potong kain. Bandingkan dengan alat tenun tradisional yang digunakan warga, yang dalam sebulan maksimal memproduksi 12 potong kain.

Kepala Disperindagkop MTB Lameck Luturmas menambahkan, tahun 2002 hingga 2007 pemerintah pernah mewajibkan penggunaan pakaian berbahan kain tenun bagi pegawai, setiap hari Senin.

Namun, setelah tahun 2008, perhatian pemerintah pada kerajinan kain tenun berkurang. Salah satunya, tidak adanya program lanjutan terhadap alat-alat tenun. Perajin juga mengeluhkan pengoperasian alat yang dinilai rumit.

Alokasi dana untuk pembinaan perajin pun semakin sedikit. Tahun 2011 ini, dari total dana APBD MTB untuk Disperindagkop sebesar Rp 1,9 miliar, dana pembinaan hanya Rp 57 juta. Itu pun mencakup seluruh industri kecil dan menengah.

”Perhatian kepada perajin sudah sangat besar pemerintah berikan, sehingga beberapa tahun terakhir kami alihkan anggaran ke sektor lain yang juga prioritas untuk mengembangkan MTB,” kata Sekretaris Daerah Kabupaten MTB Mathias Malaka.

Dengan memprioritaskan anggaran pada sektor lain, seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur, pemerintah daerah setempat menargetkan bisa mengurangi jumlah kemiskinan di Maluku Tenggara Barat yang masih 35 persen dari total penduduk 94.370 orang, sekaligus mengurangi angka pengangguran yang masih sekitar 3.000 orang. Terlebih lagi ingin segera mengurangi ketergantungan dana APBD pada pusat yang kini masih 90 persen dari total APBD MTB Rp 450 miliar.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com