Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Paradoks Perbatasan Negara

Kompas.com - 18/10/2011, 02:50 WIB

Dalam logika kartografis, orang Malaysia berbeda dengan orang Indonesia, terlepas dari fakta banyak komunitas di perbatasan masih berkeluarga atau beretnis sama dengan mereka yang di Malaysia. Sesuatu yang berbeda selalu dilihat sebagai ancaman dan nasionalisme tidak mengenal ambivalensi.

Realitas sosial-budaya

Sementara realitas ekologi-sosial-budaya yang dinamis dan cair dilihat dari sudut pandang negara seolah-olah hadir tanpa keteraturan. Alam Kalimantan di perbatasan sepanjang lebih kurang 1.800 kilometer terdiri dari pegunungan, perbukitan, dan hutan primer yang sulit ditaklukkan, bahkan dipetakan. Berbagai patok perbatasan semen yang dibuat pemerintah selama 1970-an telah hilang tak berbekas karena ’dikalahkan’ oleh alam, seperti tertutup semak belukar, terkubur humus, atau retak karena desakan akar pohon.

Komunitas-komunitas masyarakat di pedalaman telah ratusan tahun beradaptasi dengan kondisi ekologi setempat. Pola mobilitas seperti perpindahan kampung, siklus perladangan gilir balik maupun pemanfaatan hasil hutan, budaya merantau untuk menukar hasil hutan dengan komoditas pantai, dan orientasi sosial berbasis sungai adalah hasil adaptasi banyak kelompok etnis Dayak yang sering kali dipandang negatif oleh negara.

Terdapat banyak bukti bahwa orientasi ruang masyarakat perbatasan ke luar NKRI bukanlah karena ’lunturnya rasa nasionalisme’ atau ’daya tarik negara tetangga’, tetapi justru terbentuk karena formasi alam yang menentukan keberlangsungan hidup sebuah komunitas. Mobilitas manusia sering terbentuk karena rantai komoditas yang selalu mencari jalur terpendek dari daerah suplai ke pasar, terlepas apakah formasi alam ini ’patuh’ pada teritorialitas negara atau tidak.

Penelusuran sejarah proses terciptanya perbatasan formal antara Indonesia dan Malaysia membawa kita pada logika pragmatis di belakang kebijakan pemerintah kolonial Inggris dan Belanda. Ketika garis perbatasan ditetapkan melalui Konvensi London, Juni 1891, para perunding sadar, garis yang mereka tetapkan masih bersifat tentatif.

Selama tahun 1920-an, Inggris dan Belanda menyadari, penetapan garis batas di atas alam Kalimantan yang begitu bervariasi tidaklah mudah dan beberapa penyesuaian lokal disepakati. Ini ilustrasi bahwa pada era kolonial, persoalan perbatasan bisa didekati secara pragmatis, lokal, dan bisa disesuaikan dengan realitas sosial masyarakat. Ini sesuatu yang bisa jadi pelajaran bagi perumusan kebijakan pembangunan perbatasan ke depan.

Halaman depan yang baru

Paradoks perbatasan negara yang dibahas di atas menunjukkan bahwa ideologi atau pemahaman ruang berbasis kartografis menyulitkan negara dalam melihat persoalan perbatasan dengan jernih. Sebuah looking glass yang menyulitkan negara dalam memahami kompleksitas perbatasan yang memiliki logika ruangnya sendiri. Menjadi ironi ketika Belanda dan Inggris, sebagai pihak yang ’mengarang’ perbatasan Indonesia-Malaysia, tidak memperlakukan perbatasan secara sakral seperti Indonesia-Malaysia yang mewarisinya.

Wacana alternatif yang melihat perbaikan pelayanan sosial di perbatasan sebagai kunci penguatan keindonesiaan perlu diperkuat. Negara perlu memikirkan ulang definisi maupun metodologi pendekatan yang senantiasa melihat perbatasan secara hitam-putih, absolut, dan totalitarian. Pemahaman tentang dinamisme wilayah perbatasan akan jadi dasar yang kuat bagi formulasi kebijakan perbatasan yang manusiawi, sesuai kebutuhan masyarakat perbatasan.

Wilayah perbatasan hendaknya tak lagi diperlakukan sebagai ruang demarkatif, tetapi harus ruang antarmuka sosial di mana kosmopolitanisme masyarakat perbatasan hendaknya dilihat sebagai kekuatan untuk membangun halaman muka NKRI yang sejahtera dan kosmopolit. Ini adalah ’benteng’ nasionalisme yang lebih substantif ketimbang pendekatan yang parokial, dogmatis, didaktik, dan kosmetik.

Dave Lumenta Pemerhati Sejarah Sosial Perbatasan; Pengajar pada Departemen Antropologi, FISIP UI

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com