Elye Kote (60), perintis sekolah di Sungai Utik, mengatakan, masyarakat Iban baru mengenal pendidikan formal pada tahun 1974 saat pertama kali didirikan sekolah melalui instruksi presiden. Masyarakat Iban lebih mengenal sekolah itu dengan sebutan sekolah kulit kayu dibandingkan dengan sekolah inpres karena dinding dan lantainya berasal dari kulit kayu.
”Tahun 1965 saya mulai ditugaskan ke Sungai Utik, tetapi belum ada sekolah. Sekolah baru dibangun tahun 1974,” kata Kote. Infrastruktur jalan baru mulai menembus wilayah Embaloh Hulu tahun 1992. Dua hal ini yang menyebabkan perubahan sosial masyarakat Iban berlangsung agak lamban. Demikian juga peran mereka dalam bidang sosial-politik di Kabupaten Kapuas Hulu dan Provinsi Kalimantan Barat.
Wakil Bupati Kapuas Hulu Agus Mulyana yang berasal dari Dayak Iban di Kecamatan Batang Lupar, Kapuas Hulu, mengatakan, jalan dari Putussibau, ibu kota Kapuas Hulu, ke Nanga Badau yang berbatasan dengan Sarawak baru bisa dilalui mobil tanpa hambatan pada 2011. Jalan itu melintasi wilayah masyarakat Iban yang berada di Kecamatan Embaloh Hulu, Batang Lupar, dan Benua Martinus.
”Sebelum ada jalan itu, moda transportasi yang bisa diandalkan adalah sungai, dipadu jalan kaki. Saya termasuk generasi yang masih merasakannya,” kata Agus.
Dayak Iban dikenal tangguh semasa perang antarsuku yang juga dikenal dengan masa pengayauan. Mengayau secara harfiah diartikan dengan memenggal kepala musuh pada masa perang antarsuku. Perang dengan perilaku itu kemudian oleh semua subsuku Dayak yang mendiami Pulau Borneo (sekarang masuk negara Indonesia, Malaysia, dan Brunei) dihentikan tahun 1894 melalui Perjanjian Damai Tumbang Anoi dalam rapat akbar di Tumbang Anoi, Kalimantan Tengah.
Dalam buku
Kendati begitu, masyarakat Iban dikenal memiliki sifat baik. Semasa perang konfrontasi Indonesia-Malaysia (1962-1965) dan penumpasan PGRS/Paraku (1967) mereka banyak membantu Tentara Nasional Indonesia menunjukkan tempat persembunyian musuh di perbatasan.
Meski mengikuti perubahan zaman dalam beberapa hal, sebagian masyarakat Iban di Kapuas Hulu masih mempertahankan tradisi hidup komunal di rumah betang dan menjaga hutan adat mereka. Tuai (kepala) rumah betang Sungai Utik, Bandi, mengatakan, hidup komunal di rumah betang tetap dipertahankan untuk memupuk solidaritas dan gotong-royong.
”Soal hutan, kami tidak bisa ditawar. Hutan adalah sumber kehidupan. Di sini tidak pernah ada cerita kekurangan air dan kekurangan pangan,” katanya.