Sebelumnya, dalam kunjungan ke Kompas, Wongsirasawad mengungkapkan, selain melakukan penelitian bersama IPB untuk meneliti arus kuat di kawasan Timor yang dikenal sebagai Indonesian Throughflow (ITF), pihaknya juga melakukan penelitian bersama Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia (LPEM-UI) tentang dampak tumpahan minyak terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat pesisir Timor pada April 2011.
Penelitian arus laut menunjukkan, dengan kecepatan 1,4 kilometer per jam di permukaan laut, tumpahan minyak amat cepat tersapu dari Laut Timor ke arah barat daya sehingga tidak mungkin mencemari Laut Sawu sebagaimana diklaim.
Hasil penelitian dengan LPEM-UI masih dalam tahap penyelesaian, tetapi data resmi dari Badan Pusat Statistik Nusa Tenggara Timur menunjukkan peningkatan signifikan volume tangkapan ikan tahun 2009 dibanding 2008.
Ketua Tim Advokasi Tuntutan Ganti Rugi Pencemaran di Laut Timor (TALT), Masnellyarti Hilman, mengatakan, ”Kami sudah melakukan studi sendiri. Berdasarkan itu, klaim kami layangkan. Kami minta mereka untuk mengklarifikasi hasil studi itu.”
Untuk klaim terhadap dampak pada ekosistem, kata Masnellyarti, ada beberapa perbedaan hasil, antara lain, soal luasan terdampak. Dia menuturkan, penelitian dilakukan dengan mengambil contoh air laut yang diperiksakan ke laboratorium. Hasilnya, ditemukan ”sidik jari” alias jejak tumpahan minyak Montara. ”Awalnya mereka membantah, tetapi lalu setuju,” ujar dia.
Soal mangrove, Indonesia mengklaim ada dampak, sementara PTTEP mengatakan tak ada dampak. ”Mereka belum setuju bahwa tumpahan minyak mencemari pantai Indonesia,” kata Masnellyarti, menambahkan.
Karena itu, dibuat nota kesepahaman yang memuat kesepakatan akan ada komite netral yang akan melihat data kedua pihak. ”Jika tetap tidak ada kesepakatan, komite akan memberikan rekomendasi, apa yang harus dilakukan,” katanya.