Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tipisnya Budaya Sadar Bencana

Kompas.com - 14/09/2011, 04:32 WIB

Kelompok masyarakat dengan karakter seperti ini tampak dominan dan tersebar merata di semua daerah yang diteliti. Paradigma berpikir konvensional yang menilai bencana alam adalah hukuman atau kutukan yang diberikan oleh Tuhan akibat dosa-dosa manusia, masih tertanam kuat di tengah masyarakat. Rata-rata tak lebih dari 10 persen responden yang memiliki kesadaran bahwa risiko bencana dapat dihindari atau diminimalisasi bila mereka memiliki pengetahuan dan persiapan.

Tingkat pendidikan dan cara pandang masyarakat sangat dipengaruhi latar belakang pendidikan. Survei ini menemukan, semakin rendah tingkat pendidikan responden, cara pandang mereka terhadap bencana alam juga semakin mirip karakter masyarakat tradisional.

Cara pandang tradisional ini memengaruhi perilaku sehari-hari mereka dalam menghadapi bencana. Mereka yang berpandangan tradisional cenderung tidak melakukan persiapan khusus menghadapi bencana.

Meskipun bencana alam kerap terjadi di daerah mereka, tidak banyak masyarakat yang memiliki kesadaran untuk mempersiapkan diri dan keluarga mereka jika bencana alam terjadi lagi. Di lingkungan sosial paling kecil atau lingkup keluarga, sangat sedikit yang melakukan persiapan paling dasar untuk menghadapi bencana.

Antisipasi dampak bencana mulai dari hal-hal kecil hingga yang besar cenderung tidak dilakukan. Lebih dari 90 persen responden mengaku sama sekali tidak pernah berlatih evakuasi atau mempelajari tindakan pertolongan pertama jika terjadi bencana. Bahkan, tidak kurang dari separuh responden menyatakan tidak pernah membahas atau membicarakan dengan anggota keluarga lainnya terkait tindakan apa yang harus dilakukan jika terjadi bencana alam.

Kurang antisipasi

Selama 25 tahun terakhir, tak kurang dari 20 kebijakan penanggulangan bencana alam telah dibuat pemerintah. Semua memiliki substansi yang sama, yakni melindungi masyarakat dari dampak bencana. Namun, sejauh ini pemerintah belum terbukti mampu menggerakkan masyarakat untuk lebih siap menghadapi bencana.

Lebih dari itu, fasilitas antisipasi bencana berupa sarana fisik pun masih dinilai minim. Ketersediaan sarana peringatan dini dan jalur evakuasi dianggap belum memadai oleh sebagian besar responden. Infrastruktur mitigasi dinilai responden hanya tersedia di daerah yang baru saja dilanda bencana alam.

Sebaliknya, di daerah-daerah lainnya, ketersediaan sarana peringatan dini dan evakuasi masih minim. Sekitar 9 dari setiap 10 responden di Kota Palu, misalnya, menyebut tidak ada fasilitas peringatan dini dalam bentuk apa pun untuk mengantisipasi terjadinya bencana alam di daerah mereka.

Situasi agak berbeda di sejumlah daerah yang memiliki tradisi ikatan sosial yang kuat seperti di Karangasem. Sebagian besar masyarakat di sana memanfaatkan kentongan sebagai sarana peringatan dini untuk menghadapi bencana. Kentongan yang terbuat dari kayu/bambu memang telah digunakan secara turun-temurun sebagai alat komunikasi masyarakat dalam kondisi darurat termasuk menghadapi bencana letusan Gunung Agung.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com