Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Super Tucano dan Kejayaan Industri Kedirgantaraan Brasil

Kompas.com - 22/08/2011, 04:21 WIB

Oleh Ninok Leksono

Pesawat OV-10 Bronco kini telah dipensiunkan karena sudah tua umurnya. Namun, Indonesia tampaknya tak bisa melepas begitu saja fungsi serang ringan (”counter-insurgency”/COIN) atau operasi melawan aksi pemberontakan. 

OV-10 yang dibuat oleh perusahaan North American Rockwell semasa Perang Vietnam kini sudah tak dibuat lagi, tetapi Boeing disebut akan memunculkan versi mutakhir OV-10 yang dikenal sebagai Super Bronco melalui Program OA-X Light Strike Aircraft. Super Bronco disebut akan memiliki sosok menyerupai pendahulunya yang dibuat tahun 1960-an, tetapi versi baru ini akan memiliki kokpit digital, sensor lebih canggih, dan kemampuan menjatuhkan bom-bom pintar.

Namun, sebelum Super Bronco muncul, Indonesia sudah memiliki kebutuhan mendesak. Pilihan pun jatuh pada pesawat bermesin tunggal Super Tucano EMB-314 buatan pabrik Embraer (Empresa Brasileira de Aeronautica). KSAU Marsekal Imam Sufaat dua tahun silam dalam peringatan ke-64 Hari Bakti TNI AU di Yogyakarta menyebutkan, armada Super Tucano yang pertama (sebanyak delapan pesawat) akan tiba sekitar Maret 2012.

Kunjungan Kompas ke fasilitas produksi Embraer di Gaviao Peixoto, Brasil, awal Agustus, memperlihatkan berbagai komponen Super Tucano untuk pesawat TNI AU telah siap di rak-rak produksi, tinggal menunggu badan pesawat tiba dari fasilitas produksi lain di Botucatu, negara bagian Sao Paulo.

Riwayat EMB-314

Super Tucano EMB-314 kini dikenal sebagai pesawat latih sekaligus juga pesawat penyerang ringan, dan berkemampuan COIN. Selain itu, operator juga menggunakan pesawat ini untuk pengawasan perbatasan, penarik sasaran, dan misi latihan CRM (cockpit resource management). Embraer mulai memikirkan kelahiran pesawat ini pada tahun 1990. Idenya adalah membuat pesawat baru yang lebih kuat dari pendahulunya, yakni Tucano EMB-312.

Mewujud sebagai Super Tucano EMB-314, pesawat baru ini menggunakan rangka seperti pada pesawat Short Tucano yang digunakan AU Inggris (RAF), tetapi menggunakan mesin buatan Pratt-Whitney, PT6A-67R, berdaya 1.600 SHP dengan propeler 5-bilah buatan Hartzell.

Terbang pertama kali pada 9 September 1991, pesawat ini kemudian ikut dilombakan untuk memenangi kontrak JPATS (untuk memenuhi kebutuhan pesawat latih di AD AS). Meski kalah dengan Beechcraft dan Pilatus, Embraer semakin dikenal sebagai pembuat pesawat terkemuka.

Pabrik ini tidak memilih memproduksi pesawat tempur high-performance seperti jet F-16 atau Rafale, tetapi fokus pada kebutuhan negara-negara berkembang yang harus mengawasi perbatasan dan mengantisipasi kekacauan di dalam negeri. (Falsafah ini rupanya juga diterapkan dalam pesawat penumpang, yaitu Embraer tidak memproduksi pesawat badan lebar berpenumpang di atas 200 orang lebih sebagaimana Boeing dan Airbus, tetapi fokus pada pesawat berkursi sekitar 100 penumpang dan pesawat jet bisnis).

Super Tucano yang kalah dalam tender JPATS kemudian diredesain total untuk memenuhi kebutuhan spesifik AU Brasil (Forca Aerea Brasileira/FAB), sambil menargetkan pasar potensial lain (Lihat The History of Embraer, Jeffrey L Rodengen, 2009).

Kini selain Brasil, sejumlah negara Amerika Latin, dan Indonesia, produk Embraer ini juga dicoba oleh AL AS melalui Kantor Irregular Warfare (Perang Tak Biasa). AL AS membutuhkan pesawat semacam EMB-314 untuk menjadi bagian satuan operasi khusus (Defense News, 13/3/11).

Apabila pesawat Embraer secara umum digunakan oleh organisasi pertahanan di lebih dari 20 negara, khusus untuk Super Tucano, penggunanya sejauh ini baru AU Brasil dan Kolombia. Cile membeli 12 dan Republik Dominika membeli delapan, kata Christine Manna, Direktur Komunikasi Embraer di Kantor Amerika Utara di Fort Lauderdale, Florida, tetapi pesanan tersebut belum diserahkan.

Ketahanan terbang Super Tucano disebut lebih dari enam jam. Selain mampu membawa sejumlah sensor dan dipersenjatai dengan meriam mesin berat di setiap sayapnya, pesawat ini bisa dipasangi bom, kanon, dan juga bumbung (pod) roket, demikian tulis Jane’s All the World Aircraft 2008/9 (seperti dikutip DefenseNews). Satu hal lain yang disebutkan adalah bahwa Super Tucano bisa mendarat di landasan sederhana (unimproved) seperti jalan raya, diisi bahan bakar kembali, dan melanjutkan misi terbangnya.

Reputasi dunia

Dengan Super Tucano, juga dengan sederet jet bisnis seperti seri Phenom, Legacy, dan Lineage, juga dengan pesawat komersial seperti Keluarga ERJ (Embraer Regional Jet) 145 dan Keluarga Embraer 170/190, industri kedirgantaraan Brasil ini sekarang telah mendunia.

Namun kesuksesan Brasil dalam bidang kedirgantaraan tidak tercipta dalam sehari-dua hari. Selain memang memiliki jiwa kedirgantaraan, diperlihatkan antara lain dengan adanya sosok perintis penerbangan Alberto Santos-Dumont, Brasil rupanya juga belajar dari pengalaman Perang Dunia II, di mana kekuatan udara memainkan peranan besar. Namun, karena tidak mudah untuk meyakinkan investor dan penguasa militer, industri kedirgantaraan Brasil baru muncul tahun 1969. Namun, sebelum itu Brasil telah menyiapkan dua pranata penting untuk mendukung industri strategis ini. Pertama, pendirian Pusat Teknik Aeronautika (CTA) pada tahun 1946 di kota Sao Jose dos Campos, yang kini juga menjadi pusat Embraer dan dikenal sebagai kota dirgantara. Selain CTA (kini dikenal sebagai Departemen Sains dan Teknologi Kedirgantaraan (Departemento de Ciencia e Tecnologia Aerospacial), Brasil juga mendirikan seperti jurusan teknik penerbangan di ITB, yakni ITA (Instituto Tecnologico de Aeronautica atau Lembaga Teknologi Kedirgantaraan) pada tahun 1950.

Berbekal dengan kedua lembaga tersebut dan siapnya industri yang dinamai Embraer, Brasil pun meluncur ke kancah industri kedirgantaraan yang canggih dan tidak setiap negara bisa mengembangkannya dengan sukses, kecuali beberapa yang tergolong negara maju dan utama di dunia.

Tentu saja dalam perjalanannya ada banyak tantangan dan hambatan. Bahkan setelah Embraer tumbuh lebih dari dua dekade, dirasakan bahwa kinerja perusahaan tidak maksimal meski ada produk—bahkan produk awal yang sukses seperti Bandeirante (yang berarti ’Perintis’)—sementara pemerintah merasakan beban yang semakin berat di bidang ekonomi. Keadaan ini berbuntut pada langkah privatisasi yang dilakukan pada tahun 1994.

Refleksi PT DI

Kelahiran Embraer pada tahun 1969 tidak berselang jauh dengan PT DI (dulu PT Nurtanio dan kemudian IPTN) pada tahun 1976. Sayang dua perusahaan yang didirikan dengan visi yang sama, yaitu untuk mengembangkan kemandirian dan ketahanan nasional mengingat wilayah negara yang luas, plus kepulauan untuk Indonesia, tidak bernasib sama. Embraer maju pesat, kini dengan aneka produk yang laku di pasar. Sementara PT DI mengalami nasib suram. Setelah terkena krisis ekonomi pada tahun 1998, boro-boro bisa mengembangkan pesawat baru, bahkan untuk menyelesaikan pesanan yang ada pun, juga untuk membayar gaji karyawan, perusahaan dilanda kesulitan.

Namun, keadaan sulit ini sebaiknya tidak lalu membuat Indonesia menyerah dalam industri kedirgantaraan. Selama wilayah RI tetap seperti sekarang ini, dan perekonomian dunia membaik, prospek kedirgantaraan terbuka luas. Seperti Embraer, kita juga harus fokus membuat pesawat regional yang banyak dibutuhkan di ekonomi yang sedang berkembang. Semoga inisiatif pesawat N-219 benar-benar dapat menjadi titik tolak bagi kebangkitan kembali industri kedirgantaraan nasional.

Kompas/Ninok Leksono Embraer Almarhum Marsekal Muda (Purn) F Djoko Poerwoko sedang mendiskusikan pewarnaan pesawat Super Tucano TNI AU dengan tim desain dari Embraer. Pesawat Super Tucano AU Brasil.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com