Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Penghijauan untuk Menutup Luka Bumi

Kompas.com - 12/08/2011, 04:38 WIB

Biaya tinggi

Selain perencanaan matang, pengelolaan lingkungan pasca-penambangan ini membutuhkan biaya tinggi. Untuk mendanainya, PT Bukit Asam menyisihkan Rp 4.200 dari setiap ton batubara yang diproduksi. Saat ini dana yang telah terkumpul mencapai hampir Rp 200 miliar. ”Bukit Asam sudah mencanangkan penambangan selaras lingkungan sejak sebelum 1990. Saat itu, isu lingkungan sangat kuat,” kata mantan Direktur Utama PT Bukit Asam Ambyo Mangunwidjaya.

Sebuah rencana besar menutup luka Bumi tengah digarap Bukit Asam. Lubang-lubang bekas tambang di Tanjung Enim akan disulap menjadi Taman Hutan Rakyat Enim (Tahura Enim) dengan luas 5.394 hektar, meliputi 3.350,5 hektar tambang Air Laya dan 2.044,1 hektar di bekas tambang Banko Barat. Rencananya, Tahura Enim yang terdiri dari bumi perkemahan dan hutan wisata itu akan dapat dinikmati tahun 2043.

Memang masih lama. Tambang Air Laya yang masih mengandung miliaran ton batubara baru akan selesai ditambang sekitar 10 tahun ke depan. Lubang tambang yang diperkirakan akan mencapai kedalaman 200 meter di bawah permukaan air laut rencananya akan dibiarkan terbuka sebagian untuk membentuk danau buatan.

”Setelah kegiatan penambangan selesai, harapannya daerah ini tetap terjaga kesuburannya. Hutan yang nantinya tumbuh diharap dapat menjadi pusat kegiatan wisata. Kami tak ingin meninggalkan kota mati setelah penambangan selesai,” kata Sudarto.

Penghijauan PT Bukit Asam adalah kisah manis di antara kisah-kisah pahit mengenai pertambangan batubara. Masih banyak perusahaan penambangan batubara yang belum peduli pada lingkungan. Mereka menggerus kulit Bumi dan membiarkan luka terus menganga.

Berdasarkan data Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumsel, selama tahun 2009 terdapat 229 kuasa penambangan (KP) batubara yang dikeluarkan di seluruh wilayah Sumsel dengan luas mencapai lebih kurang 2,4 juta hektar. Usaha penambangan batubara memang kian marak sejak otonomi daerah memberi kewenangan pemerintah daerah menerbitkan KP batubara kepada swasta.

Kebijakan ini, kata Kepala Divisi Pengembangan Sumberdaya Organisasi Walhi Sumsel Hadi Jatmiko, sangat berbahaya bagi lingkungan. Dampak lingkungan akibat kegiatan penambangan semakin sulit dikendalikan. Bahkan, beberapa KP terbit tanpa melalui proses analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) yang memadai. ”Sungai Enim telah tercemar, salah satunya karena limbah penambangan ini. Belum lagi tanah yang tak bisa lagi ditanami,” katanya.

Selama ini, kegiatan pertambangan identik dengan kerusakan lingkungan. Telah banyak kisah soal kota-kota mati setelah sumber daya alamnya habis ditambang. Lubang galian ditinggalkan tak terurus dan daya dukung lingkungan yang rusak, seperti air yang tercemar maupun tanah yang tak subur lagi. Kisah soal masyarakat lokal yang kian miskin karena kehilangan daya dukung ekonomi setelah lingkungannya rusak parah ditambang pun tak lagi asing di telinga.

Di satu sisi, penambangan menggerakkan roda perekonomian masyarakat. Namun, tanpa pengelolaan lingkungan yang benar, kemilau tambang ini hanya akan bertahan sesaat. Selebihnya, luka-luka Bumi akan membuat masyarakat semakin merana. Meski belum sempurna, setidaknya sebuah bukit menghijau di Air Laya menjadi bukti bahwa harapan penambangan yang lebih baik itu ada.

(Irene Sarwindaningrum)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com