”Padahal, indikasi otonomi khusus adalah masyarakat sejahtera sehingga muncul ketidakpuasan,” ungkapnya.
Menurut Samuel, sejak penerapan otonomi khusus harus diakui terjadi perubahan di Papua. Pembangunan dijalankan, tetapi belum menyentuh seluruh masyarakat Papua. Kondisi itu memunculkan ketidakpuasan terhadap pemerintah. Aksi kekerasan belakangan ini bukan dilatarbelakangi ideologi, namun karena ketidakpuasan itu.
Untuk itu, Samuel berpendapat, pendekatan yang diambil untuk penyelesaian konflik adalah memperbaiki pelaksanaan otonomi khusus. Aparat keamanan di Papua tidak perlu lagi ditambah dengan mendatangkan dari luar Papua, bahkan bila perlu jumlahnya dikurangi.
Selain memperbaiki implementasi otonomi khusus, Samuel menyarankan perlu pula dilakukan pendekatan budaya. Aparat keamanan di Papua harus belajar budaya lokal sehingga dapat lebih memahami kondisi masyarakat setempat.
Peneliti senior Centre for Strategic and International Studies, J Kristiadi, mengatakan, persoalan Papua tak kunjung terselesaikan, pertama-tama karena baik pemerintah daerah maupun pemerintah pusat
”Banyak ketentuan dalam UU No 21/2001 yang belum dilaksanakan. Banyak peraturan daerah khusus sebagai implementasi otonomi khusus yang tidak dibuat,” kata Kristiadi. Padahal, otonomi khusus adalah tindakan afirmatif dari pemerintah dan masyarakat Papua untuk membangun Papua.
Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan Haris Azhar mengatakan, penyelesaian masalah Papua bisa memakai cara kenegaraan yang bermartabat, yakni tanggung jawab negara kepada setiap individu. Pemerintah memiliki sederet tanggung jawab konstitusional kepada rakyat Papua.
Pemerintah juga harus lebih memerhatikan hak asasi rakyat Papua. Ada rangkaian panjang kekecewaan orang Papua atas penjarahan sumber daya alam dan represi pada kebebasan