Jakarta, Kompas -
Hal itu mengemuka dalam diskusi saat peluncuran Pojok Gus Dur di Gedung Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Jalan Kramat Raya, Jakarta, Minggu (7/8) petang. Sesi diskusi berisi testimoni dari sahabat Gus Dur, seperti cendekiawan M Sobary, sastrawan Danarto, aktivis pluralisme Siti Musdah Mulia, Budi Tanuwibowo, dan Moeslim Abdurrahman serta Adhie Massardi yang pernah menjadi juru bicara semasa Gus Dur menjadi presiden.
Sobary menyebutkan, Indonesia tak sekadar butuh orang yang pintar dan kritis. Jika kepandaian dan sikap kritis tanpa didasari ”kiblat” pemihakan pada kebenaran, hal itu tak berarti apa-apa. ”Harus mengambil posisi untuk memperjuangkan keberanian dan kemanusiaan,” katanya.
Moeslim menyoroti perpaduan sifat pembaru dan posisi Gus Dur sebagai pemimpin. Kedua hal itulah yang menjadikan Gus Dur mampu tampil sebagai sang pencerah yang melampaui zaman, tetapi juga peka terhadap kemungkinan guncangan yang dialami umatnya. Sebagian orang sulit memahami Gus Dur, tetapi integritasnya yang teruji mendudukkan Gus Dur sebagai pemimpin yang layak diteladani.
Menempati lokasi ruang kerja Gus Dur di Gedung PBNU, Pojok Gus Dur adalah pusat informasi dan dokumentasi mengenai almarhum Gus Dur.
Pojok Gus Dur berisi koleksi sebagian buku,
Peresmian dilakukan dengan penyerahan secara simbolis kunci ruangan dari Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siradj kepada keempat putri Gus Dur.
Menurut Alissa Qotrunnada, putri tertua Gus Dur, harapan keluarga Gus Dur agar spirit perjuangan Gus Dur tetap terawat dan dilanjutkan. Melalui Pojok Gus Dur diharapkan akan muncul pemikiran maju yang bermanfaat bagi umat.