Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Siapa yang Menanggung Keamanan Kami?

Kompas.com - 29/07/2011, 16:11 WIB

oleh Mohamad Burhanudin

 

Minggu (24/7/2011) pagi di Mantang Meunjee . Di ujung desa itu, persis bersebelahan dengan pagar kawat kokoh kilang Exxonmobil, jibaku hidup terjadi. Para petani bergulat lumpur menanam padi di sawah. Sawah moyang mereka yang kini tak lagi mereka miliki. Sawah yang pernah menjadi saksi hilangnya nyawa saudara, kerabat, dan tetangga mereka oleh nafsu serakah pemodal asing yang didukung aparat negara.  

Husen (38), petani di Desa Mantang Meunjee, Kecamatan Arun, Aceh Utara, sadar, panenan padi di sawah yang digarapnya tak akan dapat mencukupi kebutuhan hidup diri dan keluarganya . Harga padi nyaris tak pernah beranjak, kebutuhan hidup terus melambung. Namun, dia mengaku tak galau.  

"Selama keadaan masih aman, saya bisa kerja apa saja untuk mencukupi kebutuhan hidup," kata Husen.

Ya, bagi warga Desa Mantang Menjee, atau ribuan warga di desa-desa sekitar kilang Exxon, kata aman pernah menjadi barang yang sangat mahal. Rasa aman pernah demikian lama terenggut kek uasan modal dan situasi konflik berkepanjangan. Situasi traumatis yang tak hanya merenggut kata aman itu sendiri, tapi juga nyawa puluhan bahkan ratusan tetangga, saudara, dan kerabat mereka.

Bahkan, perselingkungan pemodal asing menguasai lahan kilang dan aparat negara telah merenggut harta paling berharga mereka, yaitu ratusan hektar sawah warisan leluhur mereka.

Tak hanya itu, operasional di Desa Mantang Meunjee saat ini tinggal sekitar 170 keluarga. Dari jumlah itu, 80 persen di antaranya kini menggantungkan hidupnya dengan menggarap sawah seluas 105 hektar yang terletak bersebelahan dengan pagar kilang Exxon mobil. Mereka menanam padi dua kali setahun.

Kamarrudin (51), seorang perangkat Desa Mantang Meunjee, menuturkan, 105 hektar sawah yang kini digarap para petani itu tak sepetakpun yang dimiliki warganya. Warga hanya meminjam lahan itu dari Exxonmobil . Warga berbagai lahan pinjaman. Satu penggarap mendapat 4-5 rante (sekitar 800-100 meter persegi).  

"Kalau kami mengingat kembali mengenai kisah dulu sawah-sawah itu, rasa sakit di hati kami muncul kembali," kata Kamaruddin.

Setelah lapangan gas bumi ditemukan di Blok Arun tahun 1971, pemerintah sat u per satu mulai membebaskan tanah di wilayah Kecamatan Arun, Mantangkuli, dan dan Nibong.

Ratusan hektar sawah dan kebun rakyat dibeli dengan harga murah antara kurun waktu tahun 1973 sampai 1977. Satu meter persegi hanya dihargai Rp 340 per meter persegi. Padahal, sawah-sawah yang dibebaskan itu adalah sumber penghidupan utama masyarakat setempat secara turun temurun  

Kami tak berani menolak pembebasan lahan waktu itu. Ada yang menolak terus dibawa ke pos tentara dan tak pernah kembali lagi, kata Kamaruddin.

Dua tahun setelah beroperasi, masyarakat meminta dapat menggarap sebagian lahan sawah yang menganggur dikuasai Exxonmobil. Pihak Exxonmobil akhirnnya memberikan izin.

Sampai tahun 1990-an, masyarakat dapat mengusahakan sawah tersebut walaupun secara taraf ekonomi apa yang mereka dapat dari sawah tak sebesar sebelum pembebasan lahan. Maklum, luasan sawah yang mereka usahakan jauh turun, yaitu hanya sekitar 1.000 meter persegi. P adahal, sebelumnya mereka memiliki lahan di atas 1 hektar.

Memasuki dekade 1990-an, di Aceh diberlakukan daerah operasi militer (DOM). Sejak itulah, penculikan demi penculikan terjadi. Banyak warga yang dicurigai sebagai anggota Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Mereka dibawa ke pos diintrogasi dan tak kembali.

Di Desa Mantang Paya, tetangga desa Mantang Meunjee, warga setempat tak akan pernah lupa dengan sebuah bangunan sederhana berukuran 4x7 meter di pojok desa. Bangunan itulah yang dulu disebut sebagai pos A13. Disana banyak warga kampung yang diculik dan hilang.  

Waktu itu itu tudahannya macam-macam. Ada yang dituduh melindungi dan memberi bantuan ke GAM, ada yang dianggap melawan, ujar dia.

M Jaffar, Keuchik Desa Mantang Meunjee, sejak tahun 1996 sampai saat ini tak diketahui rimbanya setelah dibawa ke pos tentara di ujung desanya. Jaffar dituduh melindungi orang-orang GAM. Hal yang sama juga dialami Keuchik Desa Mantang Paya yang juga menghilang hingga kini.

Masa-masa konflik bukan saja sangat sulit, tapi juga tak aman. Bahkan, untuk pergi ke sawah pun warga harus datang terlebih dahulu ke pos tentara untuk tanda tangan. Hasil panen padi pun harus dibagi kepada pihak Exxonmobil, tentara, dan pemerintah daerah setempat.  

Untuk setiap 4 rante sawah, kami ditarik padi 85 kilogram. Kadang padi kami disita karena tentar a menuduh kami akan menyerahkan padi kepada orang GAM. Padahal, padi itu akan kami sumbangkan ke meunasah desa, kata Ahmad Ali (50), warga setempat.

Sejak Exxonmobil beroperasi, warga juga mengalami gangguan lingkungan yang parah. Suara mesin kilang men deru melebihi ambang batas pendengaran. Selain itu, pembuangan limbah produksi ke sekitar lokasi kilang mencemeri tanah dan air warga.  

"Sampai saat ini kami masih merasa gatal-gatal setelah mandi. Air disini katanya sudah terkena merkuri. Tapi, kami tak berani memprotes saat itu karena risikonya ditangkap dan dihilangkan TNI," ujar dia.

Pada tahun 1998, seiring reformasi, warga mulai berani berunjuk rasa menentang kesewenang-wenangan Exxonmobil dan tentara. Desakan tersebut berujung janji pemberian komp ensasi Rp 2,5 juta per keluarga di sekitar. Janji tersebut baru terealisasikan sekali dan setelah itu tak pernah ada lagi kompensasi.  

Itulah satu-satunya kompensasi yang pernah diberikan ke kami atas kerugian kehilangan sawah, keamanan, serta nyawa saudara dan tetangga kami, kata Kamaruddin.

Sebagai desa yang terletak persis di sebelah kilang Exxonmobil, tak pernah sekalipun ada bantuan pembangunan infrastruktur di Mantang Meunjee. Kondisi jalan desa tersebut belum satu pun yang beraspal. Hanya jalan tanah berbatu yang sebagian tak bisa dilalui mobil.

Setelah masa damai, kondisi tak pernah membaik. Tak pernah ada pengusutan atas puluhan nyawa warga sekitar Exxonmobil yang pernah hilang diculik. Bahkan, meskipun kilang Exxonmobil di kluster satu tak l agi beroperasi, warga tetap hanya bisa meminjam sawah leluhur mereka kepada pihak Exxonmobil.

Pada 9 Juli 2011 lalu, Pengadilan Federal Amerika Serikat memerintahkan melanjutkan sidang gugatan perdatang korban DOM Aceh oleh Exxonmobil. Selaku perangkat desa, Kamaruddin pernah mendengar putusan tersebut. Warganya pun juga telah membicaraka bersama. Namun, lagi-lagi mereka dikecam kekhawatiran, siapa yang akan menanggung keamanan warga setelah mengajukan tuntutan.  

"Kami masih merasa belum aman sekarang. Lihat saja, meskipun sekarang katanya damai, tapi kenyataanya di Aceh masih terus terjadi penembakan. Lalu Siapa yang menanggung keamanan kami?" tandas Kamaruddin. 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com