Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tenun, Asa untuk Mamasa

Kompas.com - 28/07/2011, 04:22 WIB

Akses jalan menuju Mamasa dari Polewali Mandar masih berupa jalan tanah dengan kerikil dan batu-batu pegunungan yang siap longsor kapan pun. Rute sepanjang 90 kilometer bisa ditempuh dalam waktu lima jam. Belum lagi ketika hujan turun, mobil-mobil bisa terjebak di jalan berlumpur. Di sepanjang jalan pun sulit sekali ditemui stasiun pengisian bahan bakar umum, lampu jalan, apalagi sinyal telepon.

Namun, dari keterasingan itu, para perempuan tumbuh lebih kuat. Demmatande (66), pendiri Kada Situru, mengingat, di tahun 1970-an, para penenun Rante Sepang memilih berhenti menenun. ”Tenun waktu itu sekali cuci langsung luntur warnanya, penenun jadi kecewa,” katanya.

Demmatande berupaya mengangkat lagi tenun Rante Sepang. Karena itu, pada tahun 1977, dia mengumpulkan beberapa perempuan dan membuatkan sanggar tempat menenun di tepi jalan. Beruntunglah kala itu telah ditemukan benang katun yang tidak mudah luntur sehingga aktivitas penenunan pun kembali bergairah.

Dari semula hanya kumpulan penenun, kini Kada Situru telah memiliki ruang pamer yang terletak di pinggir jalan poros Mamasa. Para penenun dari kelompok ini pun sudah beberapa kali mengikuti pameran di Jakarta untuk mengenalkan tenun Mamasa.

Tenun setidaknya membuat banyak keluarga tidak kelaparan. Demmatande adalah salah satu buktinya. Ibunya pun seorang penenun. Dahulu, empat sarung tenun sama harganya dengan seekor kerbau, yakni hampir Rp 2,5 juta. ”Dengan uang itu, sembilan anak ayah dan ibu saya bisa hidup dan bersekolah,” katanya.

Bekerja untuk Mamasa

Orang-orang seperti Dorsila dan Demmatande menyaksikan Mamasa berubah, termasuk ketika daerah mereka diterpa prahara setelah pemberhentian Bupati Obednego Depparinding pada 24 Juni.

Mamasa yang tenang itu mendadak mencekam. Orang-orang bersenjata parang berdemonstrasi hingga aktivitas warga lumpuh. Isu-isu pembakaran berseliweran dan membuat warga tak tenang. Di tengah malam pun warga terus berjaga untuk mengantisipasi serangan-serangan yang tak terduga.

Bagi Demmatande, ini menjadi kemunduran bagi Mamasa. Daerah yang tidak menyimpan tradisi kekerasan ini justru rapuh. Belum lagi kasus korupsi APBD ini menyeret 24 mantan anggota DPRD Kabupaten Mamasa periode 2004-2009 yang artinya semuanya ikut andil dalam kasus ini.

Selama proses hukum berjalan, gesekan horizontal di masyarakat pun timbul. Tidak hanya pemerintahan yang lumpuh, warga pun saling curiga pada yang lainnya. ”Bagaimana bisa membangun ketika kasus ini terus berlarut-larut,” kata Demmatande.

Beruntunglah situasi itu tak bertahan lama. Komitmen warga untuk menjaga kedamaian di Mamasa bisa dikatakan adalah sebuah kerja nyata yang tampak dalam upaya pemulihan. Semua perempuan dan pria bahu-membahu dalam sebuah aksi damai. Para ibu berjaga hingga larut malam meminta sumbangan dari rumah warga.

Hasilnya tidak mengecewakan. Mereka mengumpulkan tomat, beras, lauk, dan mi instan untuk diolah bagi warga yang bergabung dalam aksi. Mereka yang tidak turun ke jalan bukannya tidak menyumbang apa pun demi Mamasa.

Ketika aksi berjalan, para penenun tetap bersetia dalam tugasnya. Mereka memastikan tiap benang merekat hingga menjadi kain yang siap diantarkan hingga pelosok negeri. Bagi Rice, dengan caranya sendiri, mereka bekerja secara nyata untuk Mamasa. ”Saat ini semua pun harus bekerja dan melupakan yang lama,” ucap Rice. (sin)

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com